JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (10/5/2022). Permohonan perkara Nomor 43/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Petege dan Yanuarius Mote.
Kuasa hukum para Pemohon, Hans Poliman menyampaikan perbaikan permohonan kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat. “Pertama, kami telah memperkuat, memperjelas, menambah argumen legal standing dan kerugian konstitusional para Pemohon. Pemohon I dan Pemohon II merupakan perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda penduduk, bahwa para Pemohon berdomisili di Provinsi Papua,” jelas Hans.
Hal kedua, lanjut Hansa, para Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal yang diuji telah memberikan kesempatan dan celah bahwa persamaan setiap orang untuk dipilih dalam pemerintahan hanya berlaku bagi orang dekat dan pemegang kekuasaan sehingga menutup ruang dan kesempatan bagi orang asli Papua (OAP) untuk memperoleh pekerjaan.
“Para Pemohon sebagai warga negara dan rakyat asli Provinsi Papua dengan adanya penormaan sebagaimana di atas, telah kehilangan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama, berpartisipasi atau dipilih dalam pemerintahan sebagai anggota DPRP dan DPRK yang dipilih melalui pemilu yang adil dan jujur,” tegas Hans.
Bila melihat penormaan atas Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua, menurut para Pemohon, pasal yang digunakan adalah frasa “yang dipilih” dan “diangkat” dalam satu ayat, sehingga anggota DPRP dan DPRK merupakan hasil pemilu. “Sementara dengan penormaan sekarang, frasa tersebut bisa menjadi dua bagian yaitu huruf a dan b. Ada anggota DPRP dan DPRK yang dipilih serta anggota DPRP dan DPRK yang diangkat. Ini merupakan suatu pelanggaran,” kata Hans.
Baca juga:
Uji UU Otsus Papua: Perlakuan Diskriminatif dalam Pemilu
Sebagaimana diketahui, permohonan pengujian UU Otsus Papua diajukan oleh E. Ramos Petege (Pemohon I) dan Yanuarius Mote (Pemohon II). Para Pemohon menguji Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (2), Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua.
“Hak konstitusional para Pemohon merasa dirugikan dengan penormaan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua telah menimbulkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, baik secara normatif maupun implementatif sehingga bertentangan dengan asas pemilihan umum, melahirkan masalah diskriminasi dan nepotisme dalam proses pemilihan dan sebagai masyarakat asli Papua, penormaan tersebut juga telah menghilangkan kesempatan para Pemohon untuk memiliki pekerjaan dan hak persamaan di hadapan hukum,” jelas Ramos dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (18/4/2022).
Ramos melanjutkan, hak konstitusional para Pemohon telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua yang telah bertentangan dengan sistem desentralisasi yang dianut oleh Indonesia, bahwa pemerintah pusat mengambil wewenang pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur daerah otonominya.
Selain itu, terjadi kerugian konstitusional para Pemohon yang bersifat spesifik atau khusus dan aktual disebabkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah memberikan kesempatan dan celah bahwa persamaan setiap orang untuk dipilih dalam pemerintahan hanya berlaku bagi orang yang dekat dengan pemegang kekuasaan, sehingga menutup ruang dan kesempatan bagi semua orang asli Papua untuk memperoleh pekerjaan dan memiliki kesempatan yang sama di hadapan hukum.
Dikatakan Ramos, kerugian konstitusional para Pemohon yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar disebabkan frasa “Diangkat” pada Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah bertentangan dengan asas pemilihan umum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan para anggota DPR harus dipilih melalui pemilu secara langsung oleh rakyat Indonesia, mengingat bangsa Indonesia adalah negara yang menganut kedaulatan rakyat.
Lainnya, para Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar disebabkan ketentuan Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah mengeliminasi prinsip otonomi daerah, desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai atribusi konstitusi kepada pemerintah daerah sebagai ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar juga disebabkan ketentuan Pasal Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 2/2021 tentang Otsus Papua telah membuka celah dalam sistem desentralisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU NRI Tahun 1945 menjadi sistem sentralistik secara terpusat oleh pemerintahan pusat.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.