JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Selasa (10/5/2022). Permohonan Nomor 45/PUU-XX/2022 ini diajukan Robert Mandala Yasin selaku Direktur Utama PT James and Armando Pundimas (PT JAP). Robert mengujikan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU P3H terhadap UUD 1945.
Sedianya, agenda sidang kali ini adalah untuk memeriksa perbaikan permohonan Pemohon. Namun, Pemohon melalui kuasa hukumnya menyatakan mencabut permohonan.
Hal ini terungkap dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul. Beberapa saat setelah membuka persidangan, Manahan mengonfirmasi adanya surat masuk tertanggal 9 Mei 2022 mengenai pencabutan permohonan perkara Nomor 45/PUU-XX/2022.
“Kita hanya mengonfirmasi bahwa benarkah ini sudah dilayangkan surat ini kepada Mahkamah Konstitusi,” tanya Manahan.
Menanggapi pertanyaan Manahan tersebut, Maruli Tua Sinaga selaku kuasa hukum Pemohon membenarkan adanya surat pencabutan permohonan. Maruli mengatakan, surat itu diterbitkan dan dilayangkan oleh Firma Hukum Margono-Surya & Partners.
“Dengan adanya surat ini, maka MK secara resmi telah menerima pencabutan dari permohonan Nomor 45/PUU-XX/2022. Baiklah karena ini kita anggap telah selesai pemeriksaan maka sidang dinyatakan ditutup,” jelas Manahan.
Baca juga:
Dirut PT James and Armando Pundimas Uji UU P3H
Sebelumnya, pada Rabu (13/4/2022) MK menggelar sidang perdana pengujian materiil UU P3H sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja. Permohonan Nomor 45/PUU-XX/2022 ini diajukan Robert Mandala Yasin, Direktur Utama PT James and Armando Pundimas yang mengujikan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU P3H terhadap UUD 1945.
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU P3H berbunyi “Setiap orang dilarang membawa alat-alat berta dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri.”
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, Robert Mandala Yasin (Pemohon) memiliki legalitas atas wilayah pertambangan yang berlokasi di Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Dikatakan Ricky Margono selaku kuasa hukum Pemohon bahwa wilayah pertambangan milik Pemohon tersebut termasuk dalam wilayah Lokasi Hutan Produksi Terbatas. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, yang dimaksud dengan Hutan Produksi Terbatas yakni hutan yang dikhususkan untuk ekploitasi kayu dengan intensitas rendah melalui metode tebang pilih.
Agar dapat melakukan usaha pada lahan tersebut, Pemohon harus mengajukan pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan perlu terlebih dahulu memasuki kawasan hutan guna pemasangan patok atau penentuan titik koordinat agar dapat memastikan luasan kawasan yang bisa dikelola pihaknya. Akan tetapi, akibat ketidakjelasan tafsir pada frasa “alat-alat lain” dan frasa “patut diduga” pada pasal a quo, sangat memungkinkan bagi Pemohon diduga melakukan penambangan secara tidak berizin atau ilegal karena menghadirkan unit light vehicle saat melakukan pematokan lahan.
“Oleh karena perkara ini, Pemohon merasa rumusan pasal yang tidak jelas akan berpotensi ditetapkan dengan status Pemohon sebagai tersangka akibat dugaan penambangan ilegal sehingga terhambatnya kebebasan dasar Pemohon untuk mendapatkan perlindungan atas alat atau kendaraan yang ada dalam penguasaannya,” cerita Ricky dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra secara daring dari Ruang Sidang Panel MK.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.