JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang kedua uji materiil ketentuan mengenai syarat rekrutmen anggota partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (9/5/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 44/PUU-XX/2022 tersebut diajukan oleh E. Ramos Petege, dkk. Sebelumnya, Dixon Sanjaya mewakili para Pemohon menyebut Pasal 29 UU Parpol merugikan hak konstitusionalnya. Pemohon beralasan ketua umum partai politik peraih suara terbanyak menjadi penentu tunggal dalam memilih calon presiden dan wakil presiden.
Dalam sidang tersebut Hans Poliman selaku kuasa hukum menjelaskan bahwa para Pemohon sudah memperkuat argumen-argumen pada bagian kedudukan hukum permohonan, bukti-bukti, termasuk juga kerugian konstitusional para Pemohon.
“Para Pemohon berpandangan bahwa cita-cita tentang peran rakyat apabila memiliki posisi yang sentral, sangat mustahil diwujudkan dalam sistem pemilu saat ini. Hal tersebut disebabkan ketiadaan pengaturan mengenai mekanisme penentuan, pencalonan atau pengusulan calon presiden dan atau wakil presiden, kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang terbuka, partisipatif, transparan di hadapan kapabilitas dan kapasitas calon secara internal parpol yang dapat mengusung calon presiden dan atau wakil presiden serta kepala daerah dan atau wakil kepala daerah,” ungkap Hans.
Berikutnya, para Pemohon juga telah meringkas dan memperkuat alasan permohonan disertai penjelasan lebih detail. Sedangkan dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Baca juga: Menyoal Kewenangan Pengurus Parpol Ajukan Capres-Cawapres
Sebagaimana diketahui, Perkara Nomor 44/PUU-XX/2022 tersebut diajukan oleh E. Ramos Petege, dkk. Para Pemohon mengatakan ketentuan Pasal 29 UU Parpol tidak mempersyaratkan bagi partai politik untuk melakukan seleksi, kaderisasi, dan rekruitmen bagi calon presiden dan wakil presiden, melainkan dikembalikan pada ketentuan dalam AD/ART partai politik. Sementara kebutuhan untuk mekanisme seleksi dan rekruitmen calon presiden yang bersifat partisipatif dan transparan, sangat diperlukan untuk kemajuan demokrasi. Oleh karenanya, sambung Dixon, para Pemohon berpendapat hal demikian berpotensi membahayakan sistem politik nasional khususnya berkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Selain itu, para Pemohon juga menilai sistem rekruitmen dan seleksi calon presiden dan wakil presiden dalam internal partai politik tidak transparan dan lebih mengedepankan kepentingan sektoral.
Dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 29 UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “bakal calon presiden dan wakil presiden yang ditentukan berdasarkan hasil pemilihan pendahuluan”. Kemudian, Pemohon juga meminta agar Pasal 29 UU a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ditentukan berdasarkan hasil pemilihan pendahuluan” berlaku mutatis mutandis terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim