JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek dan IG) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (26/4/2022). Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022 tersebut diajukan oleh Djunatan Prambudi yang berprofesi sebagai wiraswasta.
Dalam permohonannya, Pemohon mengalami kerugian konstitusi akibat berlakunya Pasal 21 ayat (1) UU Merek dan IG yang berbunyi, “Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya”. Sedangkan Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU Merek dan IG menyebutkan, “Yang dimaksudkan dengan ‘persamaan pada pokoknya’ adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur maupun persaman bunyi ucapan yang terdapat dalam merek tersebut”.
“Penjelasan tersebut justru terkesan menimbulkan kebingungan seperti apa kriteria dalam penilaian yang jelas terhadap ‘menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur maupun persaman bunyi ucapan’,” kata kuasa hukum Pemohon, Fransiscus Arian Sinaga.
Menurut Pemohon, hal tersebut menimbulkan kerentanan berbagai pihak mengajukan gugatan pembatalan merek apabila adanya persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dimiliki merek orang lain atau justru lebih parah adanya pihak yang dirugikan akibat peniruan dalam penamaan merek, kemudian menggugat namun gugatan tersebut ditolak oleh hakim, sehingga menimbulkan kerentanan dalam persaingan usaha yang tidak sehat. Hal inilah dialami Pemohon.
Selain itu, dalam kasus konkret, Pemohon merasa dirugikan dengan adanya Putusan Negeri Surabaya Nomor 05/HKI/Merk/2014/PN Niaga SBY. Dalam putusan tersebut Pemohon sebagai Tergugat yang memiliki beberapa merek yang telah terdaftar di Daftar Umum Merek Direktorat Merek, antara lain Profil 88, PRO FIL 88, Merek PROFIL 89 yang memiliki kesamaan dalam penamaan dengan Merek Penggugat milik PT Profilia Indotech, yaitu Profil Tank. Selain memiliki kesamaan dalam penamaan dengan Merek Penggugat, memiliki kesamaan pula barang yang sejenis dan penggugat memiliki dalil bahwa Pemohon dengan sengaja menjiplak dan mendompleng Merek Profil Tank milik penggugat yang telah dikenal dan diminati masyarakat luas.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” ujar Leonardo Siahaan.
Terlalu Sederhana
Terkait permohonan tersebut, Panel Hakim yang terdiri dari Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Suhartoyo menilai permohonan Pemohon terlalu sederhana, belum memberikan penguatan-penguatan dasar, baik setiap bagian yang menjadi struktur sebuah permohonan maupun lainnya.
“Berangkat dari surat kuasa permohonan saja, coba diperhatikan. Surat kuasa yang lazim, memberikan kuasa kepada para kuasa hukum, baik sendiri-sendiri maupun bersama. Kalau tidak ada kalimat itu, kemudian dalam permohonan juga tidak disebutkan bahwa Anda mewakili Pemohon, maka Mahkamah menilai kuasa hukum selalu berdua. Ketika Anda datang sendiri sebagai kuasa hukum, maka ini tidak memenuhi persyaratan,” ujar Suhartoyo.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra menasehati Pemohon agar lebih memperjelas kerugian hak konstitusional dalam bagian kedudukan hukum Pemohon.
“Kalau kerugian hak konstitusional Pemohon tidak diperjelas, pokok permohonan Anda tidak akan kami periksa. Jelaskan kerugian hak konstitusional Pemohon, baik potensial maupun aktual,” tegas Saldi.
Berikutnya, Saldi meminta Pemohon agar mempertajam alasan permohonan. “Jangan Anda menjebak diri sendiri. Dalam alasan permohonan, yang paling penting Anda jelaskan adalah mengapa pasal yang Anda uji bertentangan dengan UUD 1945,” ucap Saldi.
Sementara Ketua Panel Aswanto mencermati hal yang dipersoalkan Pemohon dalam permohonan bukanlah masalah norma. “Ini adalah persoalan implementasi karena sudah jelas dalam permohonan. Inilah yang harus Anda pikirkan kembali,” kata Aswanto.
Lainnya, Aswanto menanggapi masalah tanda tangan dalam permohonan. “Kalau sudah dikuasakan kepada para kuasa hukum, tidak perlu lagi Pemohon menanda tangani permohonan,” tandas Aswanto.
Panel Hakim pun memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk melakukan perbaikan. Selambatnya perbaikan permohonan harus diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada Senin, 9 Mei 2022.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina