JAKARTA, HUMAS MKRI - Setelah sebelumnya beberapa Pemohon dengan berbagai profesi mengujikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK), kali ini perseorangan warga negara atas nama Anah Mardianah yang berprofesi sebagai guru mengujikan UU IKN. Sidang terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 53/PUU-XX/2022 ini digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (25/4/2022). Panel Hakim yang memeriksa perkara ini yakni Wakil Ketua MK Aswanto bersama Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Reza Setiawan selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan DPR selaku pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang maupun Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan berhak mengajukan rancangan undang-undang. Untuk sahnya suatu undang-undang harus terlebih dahulu dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Terkait hal ini, Pasal 20 UUD 1945 mengisyaratkan landasan kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif untuk mengesahkan undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat. Hal tersebut, sambung Reza, sejalan pula dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, tujuan dan proses dari pembentukan suatu undang-undang harus dilaksanakan bersama-sama oleh DPR dan Presiden.
“Maka suatu undang-undang harus dibentuk untuk menjamin suatu kepastian hukum, menjamin keadilan, dan menciptakan ketertiban serta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk sebagian golongan maupun individu tertentu saja. Maka, undang-undang harus memenuhi prosedur yang ketat, detail, dan terperinci. Jika tidak tercakupi, maka UU dapat dikatakan cacat formil. Maka sudah sepatutnya Mahkamah menyatakan UU a quo cacat formil dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” kata Reza.
Dalam permohonan Pemohon menyatakan pada 18 Januari 2022 lalu, DPR telah resmi menetapkan RUU IKN sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020. Sebelum UU tersebut disahkan, telah terdapat penolakan dari pemerintah provinsi dan daerah, namun penolakan demikian tidak didengarkan oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI. Selanjutnya pada 15 Februari 2022 Presiden pun mengesahkan UU IKN. Hal ini menurut Pemohon mengisyaratkan sejak awal masuk prolegnas hingga disahkan, pembentukan UU a quo hanya memakan waktu kurang dari satu bulan. Dengan demikian dapat diartikan UU IKN dibuat tidak melibatkan masyarakat. Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan uji formil UU IKN bertentangan dengan UUD 1945.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang pendahuluan ini memberikan nasihat agar Pemohon mendeksripsikan kedudukan hukum dan menjabarkan dengan argumen secara faktual keterkaitan kerugian yang dialami Pemohon atas berlakunya UU aquo. Selanjutnya Hakim Konstitusi Daniel menyebutkan perlu bagi Pemohon untuk memperhatikan kedudukan hukumnya sebagai pintu masuk dalam pengajuan perkara ini. Sebagai pembayar pajak, hal tersebut harus dipertimbangkan keterkaitannnya dengan permohonan ini. Berikutnya Daniel juga mempertanyakan keterlibatan Pemohon dalam penyusunan UU a quo. “Kalau bisa ada data akurat mengenai hal-hal yang terjadi di Sintang, Kalimantan Barat, sedangkan ibu kota ada di Kalimantan Timur, apakah karakteristik ini sama? Atau daerah yang akan jadi IKN ini seluruhnya gambut sehingga berakibat hal yang sama?” tanya Daniel.
Sementara Wakil Ketua MK Aswanto meminta Pemohon melengkapi bukti akan kurangnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan UU a quo sebagaimana diterangkan Pemohon pada permohonannya. “Mohon ditelusuri juga masalah waktu 45 hari sejak UU diundangkan dengan pengajuan perkara ini ke MK agar dapat dikategorikan sebagai pengajuan formil,” sampai Aswanto.
Sebelum menutup persidangan, Aswanto menyebutkan Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Pemohon selambat-lambatnya dapat menyerahkan perbaikan tersebut ke Kepaniteraan MK pada Senin, 9 Mei 2022. Sementara untuk sidang selanjutnya akan diinformasikan kemudian kepada Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.