BELITUNG, HUMAS MKRI – Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menjadi narasumber Kegiatan Sosialisasi Sengketa Pemilihan Kepala Daerah. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Belitung pada Jumat malam (22/4/2022). Anwar menyajikan materi “Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi Menurut UUD 1945 dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
Mengawali acara, Anwar menjelaskan landasan hukum dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia berdasarkan perintah UUD 1945. Pasal 24 UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.”
Namun setelah perubahan UUD 1954 pada 1999-2002 (empat tahap), Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Wewenang dan Kewajiban MK
Selanjutnya Anwar memaparkan mengenai wewenang MK yang disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Selain itu MK memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu,” jelas Anwar.
Sedangkan kewajiban MK, seperti disebutkan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Kemudian ada juga wewenang tambahan MK sesuai Pasal 157 (3) UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, menyelesaikan perselisihan Pilkada sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Jadi, selain memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban, ujar Anwar, MK memiliki kewenangan tambahan yaitu menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Pertimbangan hukum Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan, “Menimbang bahwa untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah karena belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut, maka penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah tetap menjadi kewenangan Mahkamah.”
Hukum Acara PUU
Lebih lanjut Anwar menyinggung mengenai Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (PUU), yang menjelaskan terlebih dahulu mengenai objek pengujian undang-undang yakni undang-undang dan perpu. Sedangkan jenis pengujian undang-undang terdiri atas pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undan dan pengujian materiil yang berkaitan dengan materi muatan dalam undang-undang.
Kemudian mengenai Pemohon dalan PUU adalah perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diatur dalam undang-undang, serta badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara.
Pengajuan permohonan PUU ke MK dapat dilakukan apabila Pemohon mengalami kerugian konstitusional, adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Tentang permohonan PUU, lanjut Anwar, menggunakan istilah ‘”permohonan”, bukan gugatan seperti dalam praktek hukum acara perdata, karena tidak mengandung sengketa kepentingan yang bersifat contentiosa. DPR dan Presiden/Pemerintah, termasuk DPD, bukanlah lawan dari Pemohon, melainkan Pemberi Keterangan. Format permohonan PUU secara sederhana meliputi Identitas Pemohon, Kewenangan MK, Kedudukan hukum (legal standing), Alasan Permohonan Pengujian, Petitum.
Sedangkan putusan PUU bersifat erga omnes, meskipun dimohonkan oleh perseorangan/individu, namun keberlakuan putusan mengikat seluruh warga (umum) dan memengaruhi politik hukum di Indonesia. Amar putusan dapat berupa permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), ditolak, atau dikabulkan.
Aspek Umum Hukum Acara MK
Bicara mengenai aspek-aspek umum Hukum Acara MK, terdiri dari pengajuan permohonan, alat bukti, persidangan, putusan. Pengajuan permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap, permohonan harus disertai alat bukti, pengajuan permohonan tidak dibebani biaya perkara, kemudian diserahkan langsung ke Kepaniteraan atau dapat diajukan secara online.
Berikutnya, persidangan terdiri dari pemeriksaan pendahuluan (panel) yang dihadiri tiga Hakim Konstitusi dan pemeriksaan persidangan (pleno) yang dihadiri sembilan Hakim Konstitusi atau minimal dihadiri tujuh Hakim Konstitusi. Sidang selalu terbuka untuk umum. Pemohon dapat mengajukan permohonan pelaksanaan sidang jarak jauh sesuai dengan PMK Nomor 18 Tahun 2009. Sejak pandemi Covid-19, banyak permohonan masuk ke MK secara online termasuk permohonan perselisihan hasil pilkada.
Kemudian mengenai alat bukti, ungkap Anwar, yang utama berupa surat atau tulisan, lalu keterangan saksi, keterangan para pihak; petunjuk dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Anwar juga menerangkan mengenai Putusan MK. MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Kekuatan Putusan MK berlaku sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.