JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian materiil dan formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (21/4/2022) secara daring. Sebanyak dua perkara digabung pemeriksaannya dalam persidangan kali ini yakni perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 dan Nomor 34/PUU-XX/2022. Adapun agenda siding adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR.
Pemerintah diwakili oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa. Suharso menyoroti kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon. Dalam keterangannya Suharso menyatakan undang-undang yang diuji secara faktual tidak akan menimbulkan akibat hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional atau kerugian lain bagi para Pemohon.
“Sehingga para Pemohon tidak memiliki hak untuk menguji undang-undang a quo secara formil dan akan sangat beralasan secara hukum jika Yang Mulia Ketua MK dan Hakim MK menolak legal standing para Pemohon secara keseluruhan,” ujar Suharso kepada Pleno Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Dikatakan Suharso, pemindahan ibu kota negara dalam undang-undang a quo merupakan salah satu bagian dari politik hukum kesejahteraan yang memiliki tujuan, visi dan misi pembangunan dan pengelolaan ibu kota negara sebagai kota dunia untuk semua. Tujuan utamanya mewujudkan kota ideal dan dapat menjadi acuan bagi pembangunan.
“Visi besar tersebut bertujuan untuk mewujudkan ibu kota nusantara sebagai kota berlanjutan di dunia, menciptakan keamanan, keselarasan dengan alam, ketangguhan efisiensi melalui pengelolaan sumber daya dan lainnya,” terang Suharso.
Pembentukan UU IKN tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena dalam pembentukan UU IKN telah dilakukan pembahasan secara intensif antara badan legislasi DPR dengan pemerintah yang diwakili Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Tata Ruang dan Agraria. Menteri Hukum dan HAM serta didampingi Naskah Akademik. “Dengan demikian penyusunan UU IKN telah sesuai dengan UUD 1945 dan prosedur pembentukan undang-undang,” ungkap Suharso.
Suharso menjelaskan, alasan pokok pemindahan ibu kota negara berdasarkan pertimbangan keunggulan wilayah. Dari sisi lokasi, wilayahnya sangat strategis karena berada di tengah-tengah Indonesia yang dilewati alur laut kepulauan Indonesia. Lokasi ibu kota negara memiliki infrastruktur yang relatif lengkap, ada bandara, pelabuhan, dan jalan tol yang baik. Lokasi ibu kota negara berdekatan dengan dua kota yang strategis yakni Balikpapan dan Samarinda. Ketersediaan lahan yang dikuasai pemerintah sangat lengkap untuk pengembangan ibu kota negara. Selain itu, ibu kota negara minim risiko bencana alam.
Akomodir Partisipasi Publik
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan yang mewakili DPR dalam keterangannya menyatakan pembentuk undang-undang telah mengakomodir partisipasi publik dengan melakukan berbagai rangkaian kegiatan dan mencari masukan dalam pembentukan UU IKN. Urgensi pemindahan ibu kota negara disebabkan Jakarta sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota negara, karena pesatnya pertambahan penduduk Jakarta yang tidak terkendali, problem lingkungan maupun berbagai persoalan lainnya.
“Oleh karena pemindahan ibu kota negara diharapkan dapat mendorong pengurangan kesenjangan dan dapat melakukan peningkatan perkembangan ekonomi di luar Jawa,” tegas Arteria.
Arteria menegaskan, dalil para Pemohon tidaklah tepat untuk dijadikan dasar pengujian. Di samping itu, para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik kerugian konstitusional yang dialami.
Baca juga:
Poros Nasional Kedaulatan Negara Uji UU IKN
Poros Nasional Kedaulatan Negara Tambah 12 Pemohon Uji UU IKN
Dinilai Cacat Formil, UU IKN Kembali Diuji Konstitusionalitasnya
Perbaiki Permohonan, Din Syamsudin Uji UU IKN Secara Formil
Sebagaimana diketahui, permohonan pengujian UU IKN Nomor 25/PUU-XX/2022 diajukan oleh Abdullah Hehamahua (Pemohon I), Marwan Batubara (Pemohon II), Muhyidin Junaidi (Pemohon III), Letjen TNI (Purn) Suharto (Pemohon IV), Mayjen TNI (Purn) Soenarko MD (Pemohon V), Taufik Bahaudin (Pemohon VI), Syamsul Balda (Pemohon VII), Habib Muhsin Al Attas (Pemohon VIII), Agus Muhammad Maksun (Pemohon IX), M. Mursalim R (Pemohon X), Irwansyah (Pemohon XI), Agung Mozin (Pemohon XII). Kedua belas Pemohon diwakili oleh kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa.
Menurut Viktor, para Pemohon tidak dapat memberikan pendapat, masukan, saran dan kritik dalam pembentukan UU a quo, dengan proses pembentukan UU IKN yang hanya memerlukan waktu 42 (empat puluh dua) hari dan terlihat terburu-buru, sehingga tidak membuka partisipasi publik secara maksimal sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di lapangan.
Sedangkan para permohonan Nomor 34/PUU-XX/2022 diajukan oleh 21 orang Pemohon yang merupakan gabungan dari berbagai profesi, mulai dari para akademisi, pegawai swasta, wiraswastawan, wartawan. Para Pemohon, di antaranya Din Syamsudin, Azyumardi Azra, Didin S. Damanhuri, menganggap hak konstitusional mereka dirugikan oleh pembentukan UU IKN.
Para Pemohon melalui kuasa hukum Ibnu Sina Chandranegara menyatakan proses pembentukan UU IKN dilakukan hanya dengan mendengar masukan dari berbagai narasumber, namun tidak ada pertimbangan dan penjelasan atas berbagai pertimbangan yang sangat merepresentasikan pandangan para Pemohon, sehingga mengakibatkan hak para Pemohon memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya menjadi dirugikan dan mengakibatkan tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terkait pengujian materiil UU IKN, para Pemohon merasa dirugikan dengan lahirnya Pasal 1 ayat (2) dan ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU IKN. Ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Karena tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Mengenai alasan pengujian formil, para Pemohon berdalil bahwa Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Apabila pembentukan peraturan perundang-undangan justru menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk memperdebatkan dan mendiskusikan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan peraturan perundang-undangan melanggar kedaulatan rakyat.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.