JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Bartolomeus Mirip (Pemohon I) dan Makbul Mubarak (Pemohon II). Para Pemohon mengujikan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap UUD 1945. Sidang Pengucapan Putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021 digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (20/4/2022).
Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebutkan, adanya penjabat gubernur/bupati/walikota yang mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang pemilihannya ditunda hingga pelaksanaan Pilkada Serentak 2024, telah diatur dalam Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU Pilkada. Berdasarkan norma tersebut, maka untuk mengisi kekosongan penjabat gubernur akan diangkat pejabat dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk penjabat bupati atau walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Pengisian jabatan kepala daerah yang kosong tersebut, sejatinya merupakan upaya untuk tetap menjamin terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Sebab, tanpa adanya pejabat yang mengisi jabatan itu, maka fungsi dari jabatan tersebut pun tidak dapat dijalankan.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 karena mengakibatkan Pemohon II diperlakukan secara diskriminatif akibat masa jabatannya kurang dari lima tahun, Mahkamah melihat bahwa adanya perbedaan lama masa jabatan kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada Serentak 2024 bukan bentuk diskriminasi terhadap hasil pilihan para pemilih dalam setiap tahapan atau gelombang penyelenggaraan pilkada. Hal demikian justru dilakukan guna mencapai tujuan negara untuk mewujudkan desain baru dari proses pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pada tataran praktis, sambung Suhartoyo, masyarakat yang telah menggunakan hak pilih dalam Pilkada 2020 telah mengetahui kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih tersebut akan menjabat hingga 2024 sebagaimana ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada.
“Pembatasan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada masa transisi tersebut tidak sama sekali mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik dan memperoleh kesempatan yang sama dalam menikmati perkembangan pembangunan daerahnya. Oleh karenanya, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena para Pemohon II telah diperlakukan diskriminatif adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Baca juga:
Pemohon Uji Konstitusionalitas Aturan Pilkada Serentak Sampaikan Perbaikan Permohonan
Menyoal Konstitusionalitas Aturan Pemungutan Suara Serentak Pilkada pada 2024
Seperti diketahui, pada sidang pendahuluan bahwa Pemohon I disebutkan pernah mencalonkan diri sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Intan Jaya pada 2017. Ia yang pernah mengikuti Pilkada Intan Jaya 2017 mengatakan seharusnya Bupati yang terpilih pada 2017, maka masa jabatannya berakhir pada 2022. Jika Pilkada Serentak digelar pada November 2024, maka terdapat kekosongan jabatan selama dua tahun. Dalam persoalan dirinya yang nantinya ingin mencalonkan diri pada pesta demokrasi daerah tersebut, harus menunggu 7 tahun sampai kemudian dapat kembali mencalonkan diri.
Sementara itu, Pemohon II yang memiliki hak pilih dan menggunakan hak tersebut pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tolitoli pada 2015 dan 2020 berpendapat terhadap pilihannya pada Pilkada 2020, maka pimpinan daerah yang terpilih hanya menjabat empat tahun. Padahal masa jabatan tersebut telah diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh sebab itu, para Pemohon melihat mekanisme pemotongan masa jabatan atau mengundurkan diri berpotensi mengurangi kualitas demokrasi pemilihan kepala daerah tersebut. Selain itu, hal demikian juga memberikan dampak negatif pada kualitas pelayanan publik di daerah.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.