JAKARTA, HUMAS MKRI – Kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024. Sehingga pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota bersamaan dengan periodesasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional.
Demikian pertimbangan hukum Perkara Nomor 18/PUU-XX/2022 yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang putusan yang digelar pada Rabu (20/04/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara tersebut diajukan oleh Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi yang merupakan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara.
Selanjutnya, Saldi menyebut pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada, menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik, maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, lanjut Saldi, hak untuk memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, in casu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional.
“Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif,” papar Saldi.
Baca juga: Masa Jabatan Berkurang, Bupati Halmahera Utara Uji Aturan Pelaksanaan Pilkada Serentak 2024
Hindari Kekosongan Hukum
Kemudian, Saldi juga mengungkapkan bahwa ketentuan Pasal 201 UU Pilkada dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum serta bersifat transisional dalam rangka penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024. Berpedoman pada Butir 127 Lampiran II UU 12/2011, Mahkamah mendapati bahwa ketentuan peralihan telah memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang didasarkan pada Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru. Adapun tujuannya, yaitu menghindari terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian hukum; memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara,” papar Saldi.
Selanjutnya khusus mengenai kepastian hukum atas persoalan tersebut, Saldi mengatakan adanya pengaturan masa jabatan kepala daerah yang terpilih saat Pilkada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada. Sehingga dalam batas penalaran yang wajar, ketentuan dimaksud telah diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut berkontestasi dalam pemilihan pada 2020 lalu. Dengan kata lain, pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan kepala daerah demikian telah diketahui secara pasti oleh setiap pasangan calon.
Baca juga: Bupati Halmahera Utara Sampaikan Perbaikan Permohonan Uji UU Pilkada
Ada Kompensasi
Berkenaan dengan perlindungan hukum sebagai akibat dari tidak terpenuhi masa jabatan sampai dengan 5 tahun, Saldi mengatakan bahwa undang-undang telah mengantisipasi secara jelas terhadap pihak yang terkena dampak pengurangan masa jabatan kepala daerah pun telah diberikan kompensasi. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024, kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015).
“Bentuk kompensasi yang akan diperoleh oleh kepala daerah pada 2018 lalu berupa uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode. Selanjutnya untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 ini, kompensasi yang diterima oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya mengikuti ketentuan Pasal 202 UU 8/2015 yang menyatakan, 'Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode',” papar Saldi.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada yang menentukan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024 tersebut, tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan serta tidak menghalangi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. “Menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan yang dihadiri oleh para Pemohon secara daring.
Sebelumnya, para Pemohon menyebutkan sebagai pasangan kepala daerah seharusnya dilantik untuk masa jabatan lima tahun sejak dilantik pada 9 Juli 2021. Masa jabatan ini, mestinya berakhir pada 9 Juli 2026, bukan pada 2024 mendatang sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada tersebut. Sebab, jika mengacu pada ketentuan tersebut maka masa jabatan para Pemohon hanya 3 tahun 5 bulan.
Menurut para Pemohon, ada inkonsistensi norma antara ketentuan Pasal 201 ayat (7) dengan pasal 162 ayat (2) UU Pilkada mengakibatkan terjadinya tumpang tindih norma yang mengatur masa jabatan dalam batang tubuh UU Pilkada. Dengan dibatalkannya atau paling tidak ditafsirkannya Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada sepanjang terkait dengan masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati sesuai dengan ketentuan Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada dan pasal 60 ayat (2) UU 23/2014, maka potensi kerugian hak konstitusional para Pemohon dapat dihindari.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.