JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), tidak dapat diterima. Permohonan ini diajukan oleh Adang Suhardja, Marwan Batubara, Ali Ridhok, dan Bennie Akbar Fatah.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan kutipan amar Putusan Nomor 20/PUU-XX/2022 dalam sidang yang digelar di MK pada Rabu (20/4/2022) secara daring.
Dalam pertimbangan hukum putusan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU Pemilu yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan pemilu tahun 2019 di mana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam pemilu tahun 2024 mendatang.
“Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum,” ujar Arief.
Selain itu, Arief melanjutkan, argumentasi para Pemohon mengenai persoalan ambang batas tidak hanya terkait dengan eksistensi partai politik karena para Pemohon sebagai warga negara yang akan menerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden adalah tidak relevan dengan anggapan kerugian konstitusional para Pemohon, karena norma Pasal 222 UU Pemilu tersebut sama sekali tidak membatasi atau menghalangi hak para Pemohon untuk memilih atau memberikan suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil presiden.
Menurut Mahkamah, berkenaan alasan kedudukan hukum Pemohon, khususnya Pemohon I, di mana Pemohon mengaitkan hak mengajukan pengujian Pasal 222 UU Pemilu dengan hak konstitusional Pemohon untuk ikut serta dalam usaha pembelaan negara yang menurut Pemohon dijamin dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak tepat, karena rumusan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 yang benar adalah “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”, bukan “...ikut serta dalam usaha pembelaan negara” sebagaimana diuraikan Pemohon. Oleh karena itu, norma konstitusi tersebut menjadi tidak relevan dengan alasan kedudukan hukum Pemohon a quo.
“Jika pun yang dimaksud Pemohon adalah hak untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 a quo, Mahkamah tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat antara norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon a quo baik secara aktual maupun potensial. Berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” tegasnya.
Dengan demikian, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Baca juga:
Ketentuan “Presidential Threshold” Kembali Diuji
Pemohon Uji Ketentuan “Presidential Threshold” Perbaiki Kedudukan Hukum
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (14/03/2022), para Pemohon yang diwakili kuasa hukum Herman Kadir mengatakan, Pasal 222 UU Pemilu mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional”. Hal ini menurutnya bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.”
“Dengan menggunakan penafsiran sistematis-gramatikal seharusnya syarat pencalonan presiden dan wakil presiden merujuk pada Pasal 6 UUD 1945 khususnya Pasal 6 ayat (2) UUD 1945,” kata Herman secara daring.
Selain itu, kata Herman, menggolongkan presidential threshold sebagai open legal policy tidaklah tepat. Seyogianya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai close legal policy sebab UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan.
Lebih lanjut Herman menegaskan pembentuk UU dalam merumuskan dan menetapkan ketentuan presidential threshold 20% kursi atau 25% suara berdasarkan hasil pemilihan umum sebelumnya, tidak didasarkan pada penghormatan atau pemenuhan hak rakyat untuk memilih (right to vote) atau mendapatkan sebanyak-banyak pilihan alternatif pasangan calon presiden.
Menurut para Pemohon, seharusnya pembentuk UU dalam menetapkan presidential threshold tidak melalui mekanisme voting (suara terbanyak) melainkan dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat (terutama yang kontra terhadap penerapan presidential threshold) dan secara proporsional mengakomodasi suara minoritas dalam kelembagaan parlemen.
Para Pemohon dalam permohonannya juga mengatakan dalam sistem demokrasi setiap keputusan tidak boleh hanya didasarkan pada legitimasi suara terbanyak tanpa mengindahkan penghormatan atau pemenuhan hak rakyat (pemilih) untuk mendapatkan pilihan kandidat pasangan presiden dan wakil presiden yang lebih banyak dan berkualitas. Selanjutnya dalam menentukan angka ambang batas pencalonan presiden pembentuk UU lebih banyak mendasarkan pada kepentingan politik (menghilangkan penantang dalam pemilihan presiden) dan tidak dilandasi atau berbasis pada kepentingan pemilih serta pembangunan demokrasi substansial.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.