JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak dapat diterima. Permohonan ini diajukan oleh Priyanto, selaku Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Ummat.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan kutipan amar Putusan Nomor 14/PUU-XX/2022 dalam sidang yang digelar di MK pada Rabu (20/4/2022) secara daring.
Pertimbangan hukum putusan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Mahkamah mempertimbangkan terkait tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil. Mahkamah mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010 yang menyatakan, “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil”.
“Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah undang-undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan undang-undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah undang-undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan undang-undang batal sejak awal,” jelas Daniel.
Baca juga: UU HPP Dianggap Inkonstitusional
Selain itu, Daniel mengungkapkan Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang. Ia menyampaikan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan: “Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah”.
Lebih lanjut Daniel menjelaskan, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah “Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
“Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUU-XX/2022,” ujar Daniel.
Daniel melanjutkan berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, karena UU HPP diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak Undang-Undang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU HPP yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21 Januari 2022 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan sebagaimana ditentukan.
“Oleh karena permohonan pengujian formil Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan,” tandas Daniel.
Baca juga: Pemohon Uji UU HPP Perbaiki Permohonan
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan bahwa UU HPP adalah suatu undang‑undang yang di dalamnya mengubah beberapa ketentuan dari peraturan perundang‑undangan yang lain yang telah digunakan sebelumnya dan memuat beberapa aturan baru. Sehingga Undang‑Undang HPP ini menjadi tidak jelas merupakan suatu perubahan undang‑undang atau pembentukan undang‑undang baru. Kemudian, Pemohon menganggap pembentukan UU HPP secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Untuk itu, Pemohon meminta agar UU HPP dibatalkan keberlakuannya. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim