JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) tidak dapat diterima. “Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 27/PUU-XX/2022, Kamis (20/4/2022) siang.
Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 30 Maret 2022 yang kemudian disampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya dalam sidang dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 7 April 2022. Setelah Mahkamah mencermati lebih lanjut perbaikan permohonan para Pemohon, di dalam posita, para Pemohon menguraikan mengenai alasan mengapa ketentuan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU Kejaksaan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan meminta Mahkamah untuk memberikan tafsir terhadap pasal yang diajukan pengujian.
Demikian juga dengan petitum permohonan para Pemohon, walaupun telah diberikan nasihat oleh Panel Hakim pada sidang pendahuluan agar mempertimbangkan petitum yang tepat, akan tetapi para Pemohon tetap pada pendiriannya. Dalam hal ini, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar ketentuan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU Kejaksaan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan juga meminta Mahkamah untuk memberikan tafsir terhadap pasal yang diajukan pengujian. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada para Pemohon pada saat sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, dan para Pemohon melalui kuasanya menyatakan bahwa petitum yang diinginkan para Pemohon adalah Petitum yang tercantum di dalam perbaikan permohonan yang dibacakan di dalam persidangan.
Terhadap petitum sebagaimana yang tercantum di dalam perbaikan permohonan para Pemohon yaitu Petitum angka 2, angka 3, angka 4 dan angka 5, menurut Mahkamah, petitum demikian bersifat kumulatif sehingga permintaan demikian menyebabkan kerancuan dan ketidakjelasan terkait apa sesungguhnya yang diminta oleh para Pemohon. Sebab, di satu sisi para Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional), sementara di sisi lain para Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat).
Berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan, kecuali para Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif, quod non. Oleh karena itu, jika petitum sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dikabulkan, dalam batas penalaran yang wajar akan menimbulkan kerancuan norma sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon menimbulkan ketidakjelasan. Oleh karena itu, Mahkamah sulit untuk memahami maksud permohonan a quo. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah kabur.
Baca juga:
Lima Jaksa Persoalkan Ketentuan Usia Pensiun
Pemohon Uji UU Kejaksaan Mengubah Posita
Untuk diketahui, permohonan pengujian UU Kejaksaan ini diajukan oleh Fentje Eyfert Loway, T. R. Silalahi, Renny Ariyanny serta dua Pemohon lainnya yang masing-masing berprofesi sebagai jaksa. Para Pemohon menguji Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan yang menyatakan, “Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: … c. telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun”.
Menurut salah seorang kuasa hukum para Pemohon, Abdul Rohman, lima Pemohon tersebut adalah jaksa yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh karena ketidakjelasan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU Kejaksaan yang terkait dengan “usia pensiun jaksa” dan dalam penjelasan Pasal 12 huruf c yang hanya menyebutkan kata “cukup jelas”.
Dikatakan Abdul Rohman, jika mengacu kepada ketentuan perundang-undangan a quo, kejaksaan yang merupakan bagian kekuasaan kehakiman, sudah selayaknya tidak ada pembedaan kepada jaksa dalam jabatan fungsional serta pengaturan usia pensiun. Pemahaman jabatan fungsional dikaitkan dengan kepentingan perlunya penjelasan dan tidak diskriminatif di antara lembaga kekuasaan kehakiman lainnnya. Pengaturan usia pensiun jaksa menjadi tidak adil dengan diberlakukannya aturan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU Kejaksaan
Para Pemohon berdalil, Undang-Undang Kejaksaan terbaru sangat berpotensi merugikan hak konstitusional para jaksa dan bersifat diskriminatif. Padahal setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya, berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Para Pemohon memandang perlu Mahkamah Konstitusi memberi tafsir terhadap Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.