JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Rabu (20/4/2022). Sidang dengan agenda penyampaian perbaikan permohonan ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P. Foekh dari Ruang Sidang Panel MK.
Pada sidang kedua permohonan yang diregistrasi Nomor 36/PUU-XX/2022 tersebut, Dixon Sanjaya selaku kuasa dari sejumlah 29 orang pencipta konten (content creator), di antaranya Eriko Fahri Ginting, Leon Maulana Mirza Pasha, Aryadi Kristanto Simanjuntak, dan Faransiska Naomi Sitanggang ini menyampaikan poin perbaikan permohonan. Dixon menyebutkan pihaknya telah melakukan penyederhanaan isi permohonan dengan tetap memperhatikan susbtansi permohonan. Berikutnya, para Pemohon juga telah memperkuat kedudukan hukum para Pemohon dengan menyertakan sertifikat dan rangkaian kegiatan web seminar yang telah diikuti para Pemohon guna meyakinkan Mahkamah mengenai profesi para Pemohon sebagai pencipta konten.
“Selanjutnya para Pemohon dalam pokok permohonan juga telah melakukan penambahan posita baru bahwa substansi UU ITE masih perlu revisi karena ada dari normanya yang bersifat pasal karet,” jelas Dixon terhadap permohonan para Pemohon yang menyatakan Pasal 27 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: Sejumlah Pencipta Konten Persoalkan Unsur Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE
Pada sidang terdahulu, para Pemohon menilai Pasal 27 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak memiliki tolok ukur yang baku dan jelas terkait frasa “pencemaran nama baik” dan frasa “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan” apabila dilakukan di media sosial. Sebagai pencipta konten yang aktif mengemukakan pendapat dalam webinar dan publikasi di bidang hukum, para Pemohon merasa terancam untuk menyatakan pikiran dan sikap yang sesuai dengan hati nurani. Mengenai unsur pencemaran nama baik, para Pemohon berpendapat hal demikian telah diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang pada intinya menyatakan unsur penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut hanya diucapkan secara lisan. Namun jika dilakukan dengan cara menyiarkan, menunjukkan, dan/atau menempelkan, maka rujukannya ada pada Pasal 310 ayat (2) KUHP. Sehingga, apabila pencemaran nama baik dilakukan di media sosial, para Pemohon menilai baik UU ITE maupun KUHP tidak memiliki definisi, karakteristik, atau parameter yang jelas atas hal tersebut.
Kemudian, para Pemohon juga mencermati adanya muatan pasal karet pada UU ITE tersebut dengan adanya frasa “tanpa hak”, “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya”. Hal ini dinilai menimbulkan multitafsir yang berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat para Pemohon. Untuk itu, dalam petitum para Pemohon menyatakan Pasal 27 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita