JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Rabu (20/4/2022) secara daring. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 37/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh A. Komarudin, Eny Rochayati, Hana Lena Mabel, Festus Menasye Asso, Yohanes G Raubaba, dan Prillia Yustiati Uruwaya. Para Pemohon menguji norma Pasal 201 ayat (3), ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada.
Kuasa hukum para Pemohon, Nurkholis Hidayat, dalam persidangan mengatakan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim dalam sidang sebelumnya. Adapun perbaikan permohonan dimaksud yaitu mengenai sistematika dan substansi permohonan baik berupa kejelasan pasal, frasa, legal standing, peninjauan ulang berkaitan mengenai jabatan madya dan pratama.
“Berikutnya, dalam posita kami sampaikan beberapa argumentasi-argumentasi yang memadai untuk mendukung petitum yang secara redaksional permohonan diperjelas sebagaimana sesuai nasihat Majelis Yang Mulia. Nah itu respons kami terhadap saran-saran dari Yang Mulia,” ujar Nurkholis secara daring.
Lebih lanjut Nurkholis mengatakan, ketentuan penunjukan pejabat kepala daerah dalam mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang akan berakhir pada 2022 dan 2023 sebagaimana diatur dalam UU Pilkada telah memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemerintah khususnya Presiden dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Baca juga:
Menguji Ketentuan Pengisian Penjabat Kepala Daerah Sementara dalam UU Pilkada
Sebagai informasi, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 37/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh A. Komarudin, Eny Rochayati, Hana Lena Mabel, Festus Menasye Asso, Yohanes G Raubaba, dan Prillia Yustiati Uruwaya. Para Pemohon menguji norma Pasal 201 ayat (3), ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada.
Kuasa hukum para Pemohon, Nurkholis Hidayat, dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK, pada Kamis (7/4/2022) mengatakan bahwa pengujian ini merupakan ikhtiar dari para pemohon untuk mengawal kemajuan demokrasi dan negara hukum di Negara Republik Indonesia. Permohonan ini secara khusus dilandasi oleh perhatian yang besar terkait dengan kekhawatiran adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif.
Lebih lanjut M. Fandi Denisatria selaku kuasa hukum lainnya menjelaskan bahwa pemohon merupakan WNI yang dibuktikan dengan KTP yakni warga Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemohon 1 dan 2, sebagai Pemohon 3, 4, 5 dan 6 merupakan warga dari Provinsi Papua. Dengan demikian menurutnya, para pemohon memiliki legal standing sebagai pembayar pajak.
Para Pemohon menyebut UU Pilkada menyebabkan para Pemohon akan dipimpin oleh Kepala Daerah yang bukan dipilih berdasarkan pemilihan yang demokratis hal ini jelas melanggar hak-hak para Pemohon. Sebab, pada 2022 nanti masa jabatan pemimpin DKI Jakarta akan habis. Selama kurang lebih 2 (dua) tahun, Pemohon 1 dan 2 akan dipimpin oleh kepala daerah yang tidak dipilih oleh rakyat. Hal ini juga berlaku bagi Pemohon 3 sampai dengan Pemohon 6.
Menurut UU Pilkada, masa jabatan Gubernur/Walikota/Bupati yang masa jabatannya habis di tahun 2022 akan digantikan oleh Penjabat (PJ) Gubernur/Walikota/Bupati yang berlangsung selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 kali sehingga total masa jabatan PJ selama 2 tahun. Dengan adanya penunjukan Penjabat Kepala Daerah oleh Pemerintah Pusat hal ini jelas melanggar asas otonomi daerah di mana wewenang daerah untuk mengambil keputusan diambil oleh Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Para Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diujikan tidak konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai: (a) ada ketentuan mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah yang demokratis, (b) Calon Penjabat Kepala Daerah memiliki legitimasi dan penerimaan paling tinggi dari masyarakat, (c) Merupakan orang asli Papua hal ini berlaku untuk Penjabat Kepala Daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat, (d) melalui proses penilaian dari berbagai unsur masyarakat, (e) ada ketentuan yang jelas, (f) dapat memperpanjang masa jabatan atau habis masa baktinya pada tahun 2022 atau 2023, (g) bukan berasal dari Kepolisian dan TNI serta (h) Independen dan bukan representasi kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.