JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) kembali diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, S.M. Phiodias Marthias yang merupakan seorang pensiunan PT Chevron Pasific Indonesia tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 49/PUU-XX/2022. Sidang perdana perkara tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat digelar pada Selasa (19/4/2022) di Ruang Sidang Pleno MK secara daring.
Dalam persidangan, Phiodias yang hadir secara daring menegaskan hak konstitusional Pemohon yang secara potensial dapat terjadi karena 4 (empat) tugas pokok dan fungsi Pemerintah Negara Indonesia untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Sebagaimana tercantum pada Pembukaan (Preambule) UUD 1945 pada alinea ke-4.
“Akan terjadi potensi penurunan kualitas 4 (empat) tugas pokok dan fungsi Pemerintah Negara Indonesia dan pada perbaikan akan saya sebutkan sebagai kerugian konstitusional primer (karena berlakunya dengan UU IKN),” jelas Phiodias.
Menurut Phiodias, UU IKN berpotensi akan terganggunya eksistensi masa depan bangsa Indonesia atau setidaknya berpotensi akan berkurangnya kualitas 4 (empat) tugas pokok dan fungsi Pemerintah Negara Indonesia dan itu nyata dan pernah dialami Indonesia.
Dalam permohonannya, Pemohon mengatakan bahwa gagasan pembentukan UU IKN berpotensi menjadi beban masa depan bangsa. Hal tersebut terjadi karena landasan pertimbangan pembentukan UU IKN tidak memperhatikan perlunya penguatan pondasi pembangunan pencerdasan bangsa sebelum perjalanan bangsa melangkah lebih jauh.
Selain itu, Pemohon mendalilkan, dengan masih besarnya tantangan fundamental bangsa saat ini, terutama terkait dengan pondasi pembangunan pencerdasan bangsa seperti uraian di atas, maka hal itu tidak sesuai dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan tersebut.
Menurut Pemohon, dengan tidak disertainya faktor pembangkit pembangunan bangsa tersebut, jangkauan analisa pemindahan Ibu Kota Negara Nusantara akan terbatas. Berpotensi akan tersembunyinya resiko-resiko yang membahayakan eksistensi bangsa. Seperti krisis 1998, beberapa tahun sebelumnya pejabat pemerintah saat itu masih bicara tentang slogan tinggal landas. Itu pertanda tidak disadarinya adanya resiko yang membahayakan eksistensi bangsa.
Pemohon menyampaikan perkiraan terburuk dampak pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara bagi masa depan bangsa. Sebagai akibat terbatasnya dana pembangunan, potensi tidak terkendalinya keuangan negara mengingat proyek bukan belanja kapital tapi belanja konsumsi dan timbulnya kondisi darurat di luar perkiraan, dampak keikutsertaan investasi asing dari isu kedaulatan negara, berkurangnya alokasi dana untuk pembangunan pencerdasan bangsa.
Kemudian Pemohon menyatakan alasan asumsi dasar tentang visi Ibu Kota Nusantara sebagai kota dunia menjadi kota berkelanjutan di dunia dan penggerak ekonomi Indonesia di masa depan (tercantum pada Pasal 2 huruf a dan huruf b UU IKN). Mengingat terbatasnya pengembangan profesionalisme di tanah air saat ini, visi tersebut tidak visible dalam konteks kesinambungan masa kini dan masa depan.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang serta bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan serta meringkasnya.
“Jadi permohonan Pak Phiodias bisa lebih ringkas sebetulnya. Banyak yang tidak perlu dimunculkan disini, ya Pak,” ujar Enny. Kemudian Enny juga menyarankan Pemohon untuk bisa mengklasifikasikan keahlian yang dikaitkan dengan uraian kerugian konstitusional yang dialami.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon untuk menyesuaikan permohonan dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021. Kemudian dalam permohonannya tidak perlu memasukkan latar belakang masalah, metodologi pendekatan masalah dan kesimpulan.
Dalam kesempatan tersebut, Arief Hidayat yang merupakan Ketua Panel Hakim menjelaskan bahwa seharusnya Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Akan tetapi, lanjutnya, dikarenakan adanya cuti bersama yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka perbaikan permohonan sudah diterima MK selambatnya pada Senin, 9 Mei 2022. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana