JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam rangkaian proses untuk mendapatkan jaminan kepastian ruang, khususnya kegiatan pertambangan, dilakukan tahapan yang cukup komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholders, baik dari aspek lingkungan, partisipasi masyarakat, dan pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan penerbitan dalam penyelenggara penata ruang baik revisi tata ruang ataupun penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).
“Jadi, kedua hal ini berjalan secara bersama dan tidak saling bertentangan satu sama lain,” kata Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Abdul Kamarzuki, dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Sidang kelima Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini digelar pada Selasa (19/4/2022) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring.
Abdul Kamarzuki dalam kapasitasnya sebagai ahli pemerintah dalam perkara ini pun menegaskan, jaminan pemuatan ruang yang diberikan dalam UU Minerba sama sekali tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang mengatur terkait khususnya penataan ruang.
“Hal ini dikarenakan kepastian usaha wilayah yang telah ditetapkan dan dikeluarkan izinnya telah melalui rangkaian proses yang sangat ketat dan komprehensif sehingga berdasarkan hukum sepatutnya wilayah dan izin tersebut dihormati setidak-tidaknya sampai berakhirnya izin tersebut,” jelas Abdul dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Di akhir keterangannya, Abdul menegaskan, pengaturan terkait jaminan pemanfaatan ruang dan kawasan yang diatur dalam UU Minerba ini tidak bertentangan dan melanggar Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28B ayat (1) UUD 1945.
Upaya Perlindungan Hukum
Ahli Pemerintah dari Universitas Pelita Harapan, Ferdinand T. Andi Lolo menegaskan, setiap warga negara memiliki hak dasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk juga di sektor pertambangan. Menurutnya, ratusan ribu orang di sektor pertambangan akan terganggu atau terhenti apabila terjadi gangguan atau hambatan terhadap bidang usaha tersebut.
“Jika tidak ada perlindungan hukum, maka hak konstitusional mereka pun berpotensi dilanggar,” jelas Ferdinand saat memberikan keterangan secara daring.
Selain itu, Ferdinand menjelaskan, Pasal 162 akan menjadi kontradiktif apabila terjadi pembatasan. Kalau dibataskan hanya berlakunya adalah setiap orang yang telah menerima kompensasi atas tanah miliknya yang dialihkan menjadi pertambangan mineral dan batubara.
“Hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian hukum karena pelaku kejahatannya di luar dari yang telah diklasifikasikan sebagai orang yang menerima kompensasi maka tidak dapat dihukum (tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menerima kompensasi tersebut),” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, Pasal 162 tidak memerlukan pemaknaan baru. Hal itu karena apabila diberi pemaknaan baru maka hal tersebut justru berpotensi melanggar hak dasar konstitusional, hak persamaan di hadapan hukum, hak keadilan dan hak lainnya. Menurutnya, pasal a quo bersumber dari konstitusi dan Pancasila sehingga tidak mungkin suatu pasal dibuat untuk melanggar hak konstitusi warga negaranya. Dengan demikian tidak ada hak konstitusional yang dilanggar.
Kemudahan dan Kepastian Perizinan
Pemerintah pada persidangan kali ini juga menghadirkan saksi yakni Alwin Albar, Direktur Pengembangan Usaha PT Timah. Alwin menyampaikan kesaksian selaku pelaku usaha khususnya dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki tanggung jawab kepada masyarakat dan negara. Alwin menganggap Pasal 17 UU Minerba memberikan kepastian hukum terhadap peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga memberikan kepastian dalam hal mendapatkan perizinan apabila terjadi tumpang tindih perizinan lainnya.
Menurut Alwin, pada faktanya perizinan yang diberikan sering kali tumpang tindih di antaranya dengan sektor kehutanan yang membutuhkan surat persetujuan pemakaian kawasan hutan (PPKH) serta sekor kelautan dan perikanan yang membutuhkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut.
Alwin menegaskan, PT Timah Tbk merasakan dampak positif atas perubahan kewenangan perizinan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Sejak 2015 PT Timah tidak lagi melakukan pengurusan perizinan di daerah melainkan langsung ke pemerintah pusat. Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Surat Edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Izin Usaha Pertambangan Badan Usaha Milik Negara.
“Bagi kami, perubahan izin ke pusat telah memberikan kemudahan dan kepastian perizinan,” ujar Alwin.
Baca juga:
Menyoal Hilangnya Peran Pemerintah Daerah dalam UU Minerba
Pemohon Uji UU Minerba dan UU Cipta Kerja Perbaiki Permohonan
DPR Bantah Adanya Pengurangan Kewenangan Pemda Terkait Izin Usaha Pertambangan
Pemerintah: Perubahan UU Minerba untuk Perbaiki Sektor Pertambangan
Ahli: UU Minerba Kriminalisasi Pembela HAM
Ahli: Pengelolaan Pertambangan oleh Pemerintah Pusat adalah Kemunduran
Saksi Terangkan Dampak Hilangnya Kewenangan Pemda dalam UU Minerba
Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Kewenangan Minerba Tetap Terbuka
Untuk diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian materi UU Minerba dan UU Cipta Kerja tersebut diajukan oleh 4 (empat) Pemohon, yaitu Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang Petani dan Nelayan.
Para Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Materi yang diujikan yakni Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17A ayat (2), Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 162 juncto Pasal 39 UU Cipta Kerja. Kemudian, Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 169C huruf g, Pasal 172B ayat (2), Pasal 173B, Pasal 173C UU Minerba.
Para Pemohon menilai Pasal-pasal tersebut multitafsir sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut.
Menurut para Pemohon, penghapusan frasa “dan/atau pemerintah daerah’’ dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU a quo telah merendahkan harga diri masyarakat daerah akibat terbatas atau hilangnya ruang partisipasi yang bermartabat bagi mereka dalam ikut menentukan masa depannya, serta berpotensi memandulkan daya prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat di daerah, melemahkan tanggung jawab daerah dalam membangun wilayah dan masyarakatnya. Akhirnya semua tergantung pada perhatian dan “anugerah” pemerintah pusat.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.