JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Rabu (19/4/2022). Agenda sidang adalah pemeriksaan perbaikan permohonan perkara Nomor 32/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan).
Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Ahmad Wakil Kamal selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan. Kamal mengatakan telah menghapus ketentuan norma Pasal 9 ayat (2) huruf a dan Pasal 14 ayat (1) UU Perbankan Syariah. Kemudian perbaikan pada poin kedudukan hukum, Pemohon menyederhanakan dasar-dasar hukum sesuai dengan nasihat hakim pada sidang pendahuluan.
“Demikian juga kami telah mencantumkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Akta pendirian perubahan dari Pemohon yaitu direktur dan utama bertindak dan atas nama PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah. Berdasarkan Akta 52 tanggal 30 bulan Juli 2021 yang menyatakan bahwa Martadinata adalah Direktur Utama PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan).
Lebih lanjut Kamal memaparkan perbaikan pada alasan kerugian konstitusional. Pada poin ini Pemohon mengkontruksikan kembali kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial. Selanjutnya, pada alasan-alasan permohonan, Pemohon juga mengkonstruksikan perbedaan mengenai BPR Syariah dan Bank Umum Syariah.
Baca juga
BPR Syariah Minta Perlakuan Sama dalam Pelayanan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
Untuk diketahui, permohonan Nomor 32/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perbankan Syariah diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan). Pemohon mengujikan Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 21 huruf d, serta Pasal 25 huruf b dan huruf e UU Perbankan Syariah. Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS.
Dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (7/4/2022), Pemohon melalui kuasa hukumnya, Ahmad Wakil Kamal mengatakan pembatasan dan larangan untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPR Syariah tidak optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat terutama usaha mikro kecil untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Lebih lanjut Kamal mengatakan, Bank Indonesia menetapkan kebijakan National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi.
Dengan adanya norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah, BPR Syariah tidak dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. Hal ini seolah menempatkan posisi BPR Syariah sebagai sub-ordinat dari Bank Umum Syariah, sehingga menimbulkan perlakuan yang berbeda pada BPR Syariah yang notabene adalah bank yang juga memiliki peran yang sama dengan Bank Umum Syariah yaitu sama-sama memberikan dalam layanan di bidang keuangan masyarakat dan beberapa jenis usaha yang dijalankan oleh BPR Syariah pada umumnya memiliki kesamaan dengan Bank Umum Syariah seperti meliputi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyediakan pembiayaan bagi nasabah.
Pada sisi lain, banyak perusahaan non-bank seperti perusahaan financial technology (fintech) dan perusahaan telekomunikasi yang dapat memanfaatkan dan terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. Padahal perusahaan fintech tersebut juga memiliki kesamaan dengan BPR Syariah dalam aktifitas kegiatan usahanya.
Kamal menuturkan, dilarangnya BPR Syariah melakukan kegiatan lalu lintas pembayaran mengakibatkan adanya biaya tambahan yang ditanggung BPR Syariah dan kemudian ditanggung oleh nasabah berupa biaya transaksi yang diwajibkan oleh Bank Indonesia (BI) ditambah atas biaya yang diwajibkan oleh Bank Umum Konvensional atau Syariah.
Dilarangnya BPR Syariah melakukan kegiatan lalu lintas pembayaran, menurutnya hal tersebut merupakan paksaan operasional BPR Syariah dalam menjalankan lalu lintas hanya melalui Bank Umum Konvensional/Syariah tanpa ada pilihan lain yang dapat memberi nilai tambah atau efisiensi bagi BPR Syariah. Dilarangnya BPR Syariah melakukan kegiatan lain mengakibatkan kesulitan dan beradaptasi melakukan inovasi mengembangkan dan memanfaatkan teknologi dengan memberikan pelayanan yang terbaik bagi nasabahnya yang mengakibatkan keuangan BPR Syariah menjadi tidak sehat sedangkan satu sisi nasabah bank umum syariah dan lain sebagainya justru dibolehkan melakukan kegiatan lalu lintas pembayaran dengan berbasis teknologi yang menyederhanakan mata rantai transaksi yang dapat menekan biaya operasional. Namun, jika kondisi ini dibiarkan tentu akan mengancam keberlangsungan usaha BPR Syariah.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.