JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) pada Senin (18/4/2022). Permohonan perkara Nomor 43/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Petege dan Yanuarius Mote.
Dalam persidangan secara daring, E. Ramos Petege memaparkan pokok permohonan. Ramos mengatakan, dia dan Yanuarius Mote menguji Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (2), Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua. “Hak konstitusional para Pemohon merasa dirugikan dengan penormaan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua telah menimbulkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, baik secara normatif maupun implementatif sehingga bertentangan dengan asas pemilihan umum, melahirkan masalah diskriminasi dan nepotisme dalam proses pemilihan dan sebagai masyarakat asli Papua, penormaan tersebut juga telah menghilangkan kesempatan para Pemohon untuk memiliki pekerjaan dan hak persamaan di hadapan hukum,” jelas Ramos kepada Ketua Panel Arief Hidayat.
Ramos melanjutkan, hak konstitusional para Pemohon telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua yang telah bertentangan dengan sistem desentralisasi yang dianut oleh Indonesia. Pemerintah pusat mengambil wewenang pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur daerah otonominya.
Selain itu, terjadi kerugian konstitusional para Pemohon yang bersifat spesifik atau khusus dan aktual disebabkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (2) UU Otsus Papua yang telah memberikan kesempatan dan celah bahwa persamaan setiap orang untuk dipilih dalam pemerintahan hanya berlaku bagi orang yang dekat dengan pemegang kekuasaan, sehingga menutup ruang dan kesempatan bagi semua orang asli Papua untuk memperoleh pekerjaan dan memiliki kesempatan yang sama di hadapan hukum.
Dikatakan Ramos, kerugian konstitusional para Pemohon yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar disebabkan frasa “Diangkat” pada Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (2) UU Otsus Papua yang telah bertentangan dengan asas pemilihan umum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan para anggota DPR harus dipilih melalui pemilu secara langsung oleh rakyat Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara yang menganut kedaulatan rakyat.
Lainnya, para Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar disebabkan ketentuan Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2) UU Otsus Papua yang telah mengeliminasi prinsip otonomi daerah, desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai atribusi konstitusi kepada pemerintah daerah sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945.
Kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar juga disebabkan ketentuan Pasal Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua telah membuka celah dalam sistem desentralisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU 1945 menjadi sistem sentralistik secara terpusat oleh pemerintahan pusat.
Kuasa Pemohon Tak Hadir
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mempertanyakan soal kuasa hukum para Pemohon yang tidak hadir dalam persidangan. “Saudara memberikan kuasa kepada berapa orang?” tanya Daniel.
Ramos menjawab ada 10 kuasa hukum yang mendampingi para Pemohon. Daniel pun mengatakan, meskipun Pemohon yang menyampaikan pokok-pokok permohonan, semestinya salah seorang kuasa hukum para Pemohon hadir dalam persidangan.
Hal lain, Daniel menyoroti sistematika permohonan para Pemohon yang harus mengacu pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021. Dalam Pasal 10 PMK No. 2/2021 ayat (2) diatur bahwa permohonan yang diajukan Pemohon sekurang-kurangnya memuat nama Pemohon dan/atau kuasa, pekerjaan, dan seterusnya. Kemudian uraian yang jelas tentang Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan, Petitum.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengingatkan para Pemohon agar benar-benar mencatat nasihat, masukan untuk perbaikan permohonan yang disampaikan Panel Hakim MK.
“Jangan sampai nanti kita bicara banyak di sini, tidak ada hasilnya. Tolong dicatat, apalagi tidak ada kuasa hukum yang hadir,” kata Manahan yang mencermati kedudukan hukum para Pemohon perlu diperbaiki, uraian permohonan tidak perlu dibagi dua bagian, tetapi jadi satu kesatuan. Kemudian pemaparan kerugian konstitusional para Pemohon dihubungkan dengan profesi para Pemohon.
Sedangkan Ketua Panel Arief Hidayat menekankan bahwa yang perlu diperbaiki adalah kedudukan hukum para Pemohon. “Uraian mengenai kedudukan hukum masih sangat sumir. Pemohon hanya menyebutkan Pemohon perseorangan, namun tidak menjelaskan kerugiannya di mana?” ucap Arief.
Berikutnya, Arief menegaskan bahwa UU Otsus Papua merupakan undang-undang afirmatif atau bersifat kekhususan. Ini tidak bisa dibandingkan dengan undang-undang yang normal. UU Otsus Papua mengatur secara khusus Papua, sehingga permodelannya bisa berbeda dengan undang-undang pemerintahan daerah yang lain.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.