JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketentuan mengenai syarat rekrutmen anggota partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara Nomor 44/PUU-XX/2022 tersebut diajukan oleh E. Ramos Petege, dkk. Dalam sidang perdana yang digelar pada Senin (18/4/2022), Dixon Sanjaya mewakili para Pemohon menyebut Pasal 29 UU Parpol merugikan hak konstitusionalnya. Pemohon beralasan ketua umum partai politik peraih suara terbanyak menjadi penentu tunggal dalam memilih calon presiden dan wakil presiden.
Melalui Dixon Sanjaya, para Pemohon mengatakan ketentuan Pasal 29 UU Parpol tidak mempersyaratkan bagi partai politik untuk melakukan seleksi, kaderisasi, dan rekruitmen bagi calon presiden dan wakil presiden, melainkan dikembalikan pada ketentuan dalam AD/ART partai politik. Sementara kebutuhan untuk mekanisme seleksi dan rekruitmen calon presiden yang bersifat partisipatif dan transparan, sangat diperlukan untuk kemajuan demokrasi. Oleh karenanya, sambung Dixon, para Pemohon berpendapat hal demikian berpotensi membahayakan sistem politik nasional khususnya berkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Selain itu, para Pemohon juga menilai sistem rekruitmen dan seleksi calon presiden dan wakil presiden dalam internal partai politik tidak transparan dan lebih mengedepankan kepentingan sektoral.
“Hal itu terjadi akibat diberikannya kebebasan pada parpol oleh UU a quo untuk mengatur rekruitmen hanya dengan ketentuan yang dibuat dalam AD/ART partai. Sehingga sistem pemilihan calon presiden dan wakil presiden pada akhirnya hanya dilakukan oleh elite politik khususnya ketua umum partai politik,” jelas Dixon dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 29 UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “bakal calon presiden dan wakil presiden yang ditentukan berdasarkan hasil pemilihan pendahuluan”.
“Pasal 29 UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ditentukan berdasarkan hasil pemilihan pendahuluan” berlaku mutatis mutandis terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah,” tandas Dixon.
Kerugian Konstitusional
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan agar para Pemohon khususnya Pemohon III untuk menyerahkan bukti sebagai kader parpol diberikan kepada MK. Sementara terkait dengan Pemohon IV sebagai simpatisan partai politik untuk dapat pula membuktikan kedudukan hukumnya tersebut. “Untuk itu perlu dibuktikan dan diberikan argumentasi tentang kedudukan hukumnya dalam pengajuan perkara ini dan mengalami kerugian dari berlakunya UU ini,” jelas Wahiduddin.
Berikutnya Hakim Konstitusi Enny memberikan nasihat agar para Pemohon memberikan argumentasi yang komprehensif mengenai anggapan kerugian konstitusional yang dialami atas berlakunya pasal a quo.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua MK Aswanto agar pasal yang diujikan para Pemohon dalam permohonan ini diuraikan tentang hak konstitusional yang diberikan UUD 1945 yang kemudian menjadi terabaikan karena kehadiran pasal a quo.
“Ini perlu dielaborasi kembali sehingga Mahkamah bisa memahami ada kerugian yang dialami para Pemohon. Jadi tidak hanya mencantumkan pasal-pasalnya saja, tetapi argumen konstitusionalnya juga harus dibuktikan,” kata Aswanto.
Dalam kesempatan tersebut, Aswanto yang merupakan Ketua Panel Hakim menjelaskan bahwa seharusnya Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Akan tetapi, lanjutnya, dikarenakan adanya cuti bersama yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka perbaikan permohonan sudah diterima MK selambatnya pada Senin, 9 Mei 2022. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim