JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang kedua uji materiil Pasal 13 huruf f, i dan j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap UUD 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (18/4/2022) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Perkara Nomor 29/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Boyamin Bin Saiman dan Marselinus Edwin Hardian.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Boyamin selaku Pemohon I mengatakan bahwa telah memperbaiki kedudukan hukum (legal standing) dengan menambahkan NPWP dan bukti bayar pajak Tahun 2021. Selain itu, perbaikan juga terdapat pada batu uji dengan menambahkan Pasal 23 mengenai BPK mandiri.
“Lalu menambahkan Pasal 31 ayat 5 tentang ilmu pengetahuan teknologi dimana usia dewasa dan juga tentang kepandaian atau kepintaran itu adalah diuji berkaitan dengan psikotest,” jelas Boyamin
Lebih lanjut Boyamin menerangkan, pada alasan permohonan juga terdapat perbaikan dengan menambahkan dan menyempurnakan yang akan berkaitan dengan petitum. “Ini semua berdasarkan pada posisi kami sangat memahami berkaitan dengan open legal policy, tetapi yang kami utamakan sebenarnya pengujian Pasal 13 j tentang UU BPK. Di mana mengatur dalam dua tahun terakhir tidak menjabat pengguna anggaran,” jelasnya.
Selain itu, Boyamin menegaskan bahwa upaya pengujian yang dilakukan Pemohon adalah guna membela Nyoman Adhi. “Ketika (Nyoman Adhi) sudah menjadi pimpinan BPK tidak melanggar aturan jika permohonan ini dikabulkan,” ujarnya.
Baca juga: Menguji Konstitusionalitas Syarat Pencalonan Anggota BPK
Dalam sidang perdana yang digelar pada 5 April 2022, para Pemohon mengatakan, Pasal 13 huruf f UU BPK telah berpotensi menghilangkan hak Pemohon untuk dipilih menjadi Anggota BPK. Ia menyebut, Pemohon I pada saat mendaftar permohonan ini masih belum selesai menjalani pendidikan SI. Padahal berdasarkan pengalaman cukup paham selak beluk penyimpangan-penyimpangan keuangan yang mengakibatkan kerugian negara. Artinya, Pemohon memiliki kemampuan, namun karena terbentur persoalan pendidikan, maka Pemohon I tidak dapat mencalonkan diri sebagai anggota BPK.
Sementara itu, Marselinus Edwin Hardian selaku Pemohon II menerangkan bahwa Pemohon belum berusia 30 tahun sehingga belum memenuhi syarat dalam pasal a quo sehingga tidak dapat dipilih menjadi anggota BPK. Menurut para pemohon, hal ini tentu akan berpotensi menghilangkan hak Warga Negara Indonesia sepanjang tidak dimaknai dewasa dalam memahami ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu, dalam permohonannya, para Pemohon mengatakan pemberlakuan Pasal 13 huruf j Undang Undang BPK menyatakan bahwa salah satu syarat untuk dapat dipilih menjadi Anggota BPK adalah paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Hal ini tentu bertentangan dengan undang-undang sepanjang tidak dimaknai tidak melakukan penyimpangan dan tindak pidana korupsi selama memangku jabatan sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Negara.
Dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 13 huruf f UU BPK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai pintar dan pandai berdasarkan hasil proses penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 13 huruf i UU BPK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai dewasa berdasarkan hasil penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, Pemohon meminta agar Pasal 13 huruf j UU BPK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak pernah melakukan penyimpangan atau tindak pidana korupsi selama memangku jabatan sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Negara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.