JAKARTA, HUMAS MKRI – Kasus Valencya yang dipidana karena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat memarahi suaminya saat mabuk, memicu dua orang mahasiswi mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Sindi Enjelita Sitorus dan Hesti Br Ginting yang merupakan mahasiswi Universitas Kristen Indonesia tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 41/PUU-XX/2022 tersebut. Sidang perdana perkara tersebut digelar pada Kamis (14/4/2022) di Ruang Pleno MK secara daring.
Para Pemohon menguji Pasal 7 UU PDKRT yang dinilai melanggar hak konstitusionalnya. Pasal 7 UU PDKRT menyatakan, “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Leonardo Siahaan selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan Pasal 7 UU PDKRT tidak memberikan ketentuan yang jelas seperti apa bentuk kekerasan psikis yang dimaksud sehingga dapat menjadi suatu penafsiran yang akan menimbulkan perdebatan. Selain itu, hal ini akan menimbulkan kerugian secara konstitusi yang akan dialami oleh para Pemohon.
“Sebagai contoh kasus yang dialami oleh Valencya, dirinya ditetapkan sebagai tersangka pada 11 Januari 2021 akibat memarahi suaminya karena pulang dalam keadaan mabuk. Valencya dilaporkan ke Polda Jabar atas kasus kekerasan dalam rumah tangga psikis,” ujar Leonardo yang hadir secara daring.
Lebih lanjut Leonardo menyebut, Pasal 7 UU UU PKDRT tidak mempunyai tolok ukur yang jelas mengenai kekerasan psikis. Hal ini termasuk bentuk-bentuk kekerasan psikis yang dapat mengakibatkan posisi perempuan rentan untuk digugat dan dikriminalisasi sebagai pelaku dalam konteks kekerasan psikis. Menurutnya, ketidakjelasan tersebut menimbulkan kekhawatiran para Pemohon apabila nantinya memiliki kasus yang sama seperti dalam kasus Valencya. Padahal Valencya melakukannya bukan sebagai bentuk kesengajaan melainkan hanya spontanitas dan tidak bermaksud untuk menyerang psikis korban.
“Para pemohon semakin khawatir dalam kerugian potensial diperlakukan secara sewenang-wenang terhadap penafsiran Pasal 7 UU KDRT bila berkaca pada deklarasi HAM,” ujarnya.
Sedangkan dalam kasus kekerasan psikis sesungguhnya kata-kata yang merendahkan martabat dan menghina berdampak serius apabila dilakukan secara terus-menerus. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal 7 UU PDKRT bertentangan dengan UUD 1945 dan konstitusional bersyarat. “Sepanjang ditambahkan frasa ‘bentuk-bentuk kekerasan psikis: ada pernyataan yang dilakukan dengan umpatan, penghinaan, pelabelan negatif, atau sikap dan gaya tubuh merendahkan disertai adanya keterangan mengenai kondisi psikologis seseorang korban kekerasan psikis’,” tandas Leonardo.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan MP SItompul menyarankan para pemohon untuk memperbaiki identitas para pemohon. “Dalam identitas pemohon ini harus jelas,” tegas Manahan.
Selain itu, Manahan juga menyarankan para pemohon untuk mencantumkan norma sebagai batu uji dalam UUD 1945. “Karena norma itulah yang menjadi pedoman, kerugian konstitusionalnya dimana anggapan kerugian itu dilihat dari norma. Jadi musti ada norma itu,” jelasnya saat memberikan nasihat kepada para Pemohon.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan bahwa para pemohon untuk menguraikan lebih mendalam mengenai alasan permohonan. “Yang mendalam itu tidak harus banyak tetapi tepat sasaran, boleh ringkas tetapi tepat sasaran,” tegas Arief. Kemudian ia juga meminta para pemohon untuk memperkaya permohonan. Ia pun meminta Pemohon untuk melihat UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan pada 12 April 2022 silam.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya selambatnya pada 27 April 2022. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.