JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) pada Kamis (14/4/2022) secara daring. Sidang permohonan perkara Nomor 46/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Moch Ojat Sudrajat, seorang penggiat informasi publik asal Lebak, Banten.
Moch Ojat Sudrajat (Pemohon) merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 4 ayat (1) huruf d UU AP. Sebab menurutnya, berdasarkan pasal tersebut, badan pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang disebutkan UUD 1945 ketika diduga melakukan perbuatan melawan hukum, maka gugatan yang dilakukan warga masyarakat dan/atau badan hukum privat harus dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) “setelah menempuh upaya administratif” yakni upaya keberatan dan banding.
Dalil Permohonan
Pemohon menjelaskan, UU AP diundangkan pada 17 Oktober 2014 dan di dalamnya terdapat muatan materi Pasal 4 ayat (1) huruf d UU AP yang menyebutkan, “Ruang lingkup pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini meliputi semua aktivitas: … d. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang”.
Pemohon menganggap ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU AP bertentangan dengan hak Pemohon sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Menurut Pemohon, pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam implementasi pada lembaga peradilan dicerminkan atas suatu asas sederhana yang bermakna memiliki cara yang jelas dengan kemudahan dipahami tanpa proses yang berbelit-belit, cepat, dengan biaya yang ringan dalam mencari keadilan.
Pemohon membenarkan saat ini badan dan/atau pejabat pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan, khususnya yang dibentuk berdasarkan undang-undang dapat dikatakan hampir secara keseluruhan memiliki struktur organisasi secara hirarkis. Badan yang berposisi di pusat menjadi “atasan” bagi badan yang berada di provinsi dan/atau kabupaten /kota. Namun hal tersebut tidak terjadi untuk Komisi Informasi.
“Contohnya antara Komisi Informasi Pusat dengan Komisi Informasi Provinsi seperti tidak ada ‘atasan’,” kata Moch Ojat Sudrajat kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Mempertajam Uraian
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan nasihat agar Identitas Pemohon sebagai penggiat informasi publik harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang jelas. Kemudian terkait Kewenangan Mahkamah supaya lebih dipertajam penguraiannya, menuju pada menguji norma undang-undang yang dipersoalkan.
“Kedudukan hukum perlu dielaborasi lagi lebih jauh, ada hak dan kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD dan menguraikan kerugian konstitusional Pemohon. Kemudian ada hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional dengan pasal yang diuji,” ujar Wahiduddin.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan Pemohon agar melampirkan bukti persidangan dalam PTUN Serang yang pernah dijalani Pemohon. “Apakah masih dalam persidangan atau sudah ada putusannya? Kalau sudah ada putusan, sedapat mungkin ada lampirannya,” kata Daniel yang juga menasihati Pemohon agar mempelajari sistematika permohonan pengujian undang-undang yang baik dalam Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra menasihati Pemohon agar membaca dan mempelajari risalah persidangan permohonan Perkara No. 46/PUU-XX/2022 melalui Laman MK secara lengkap untuk bahan perbaikan permohonan pada sidang selanjutnya. Selain itu Saldi menyoroti sistematika permohonan Pemohon yang harus diperbaiki, termasuk cara penulisan yang benar dari mulai sampai akhir permohonan.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.