JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Rabu (13/4/2022). Permohonan Nomor 45/PUU-XX/2022 ini diajukan Robert Mandala Yasin selaku Direktur Utama PT James and Armando Pundimas. Robert mengujikan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU P3H terhadap UUD 1945.
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU P3H berbunyi “Setiap orang dilarang membawa alat-alat berta dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri.”
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, Robert Mandala Yasin (Pemohon) memiliki legalitas atas wilayah pertambangan yang berlokasi di Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Dikatakan Ricky Margono selaku kuasa hukum Pemohon bahwa wilayah pertambangan milik Pemohon tersebut termasuk dalam wilayah Lokasi Hutan Produksi Terbatas. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, yang dimaksud dengan Hutan Produksi Terbatas yakni hutan yang dikhususkan untuk ekploitasi kayu dengan intensitas rendah melalui metode tebang pilih.
Agar dapat melakukan usaha pada lahan tersebut, Pemohon harus mengajukan pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan perlu terlebih dahulu memasuki kawasan hutan guna pemasangan patok atau penentuan titik koordinat agar dapat memastikan luasan kawasan yang bisa dikelola pihaknya. Akan tetapi, akibat ketidakjelasan tafsir pada frasa “alat-alat lain” dan frasa “patut diduga” pada pasal a quo, sangat memungkinkan bagi Pemohon diduga melakukan penambangan secara tidak berizin atau ilegal karena menghadirkan unit light vehicle saat melakukan pematokan lahan.
“Oleh karena perkara ini, Pemohon merasa rumusan pasal yang tidak jelas akan berpotensi ditetapkan dengan status Pemohon sebagai tersangka akibat dugaan penambangan ilegal sehingga terhambatnya kebebasan dasar Pemohon untuk mendapatkan perlindungan atas alat atau kendaraan yang ada dalam penguasaannya,” cerita Ricky dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra secara daring dari Ruang Sidang Panel MK.
Sistematika dan Substansi
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi menasihati Pemohon agar memperhatikan sistematikan permohonan yang cukup panjang, sebaiknya dimulai dengan identitas Pemohon dan kuasa hukum; kewenangan Mahkamah dalam perkara a quo sesuai dengan PMK terbaru dan aturan terkait; kedudukan hukum yang menjelaskan keberadaan hukum Pemohon; hingga alasan mengajukan permohonan yang menguraikan tentang penjelasan filosofis, sosiologis, dan lainnya yang menyebabkan pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945.
“legal standing untuk menjelaskan alas hak mengajukan permohonan. Sebab ini penting karena legal standing hal pertama didiskusikan Mahkamah. Untuk alasan permohonan itu menerangkan apakah benar norma ini melanggar hak konstitusional warga negara dan bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Saldi.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menasihati agar Pemohon memperhatikan objek permohonan yang pernah diujikan di MK dan telah diputus terhadap UU Cipta Kerja yang dimohonkan pada perkara ini. Selain itu, Wahiduddin meminta agar Pemohon lebih cermat dan konsisten menyebutkan pasal yang dimohonkan pengujiannya yang sudah dimuat pada UU terbaru. Untuk itu Pemohon perlu memperbaiki pengutipan nomor, tahun, dan/atau peraturan yang dituliskan pada permohonan yang nantinya berpengaruh pada butir-butir yang ada di Petitum.
“Pada Petitum nanti akan berpengaruh jika objek permohonannya tidak disebutkan dengan jelas dan benar. Jadi, baiknya dicermati lagi,” sampai Wahiduddin.
Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul pun mempertanyakan objek permohonan berupa pasal dari UU asal yang kemudian diubah tersebut perlu disimak dan dipahami oleh Pemohon. Mengingat pasal-pasal yang diujikan pada UU P3H tersebut telah mengalami perubahan dan dimuat pada UU Cipta Kerja. Sebelum menutup persidangan, Manahan memberikan kesempatan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk menyempurnakan permohonannya. Selanjutnya, permohonan yang telah disempurnakan atau diperbaiki tersebut diserahkan kepada Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas Raisa Ayudhita.