JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di Ruang Sidang Panel MK pada Selasa (12/4/2022). Samiani selaku perseorangan warga negara yang mengajukan permohonan ini menyatakan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU SJSN sebagaimana diubah UU Ciptaker bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Dalam kesempatan tersebut, M. Sholeh selaku kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 33/PUU-XX/2022 tersebut, menyampaikan beberapa bagian yang telah disempurnakan pada permohonan kali ini, yakni melengkapi uraian mengenai Peraturan MK 2/2021 sebagaimana ketentuan hukum beracara di MK yang terbaru. Berikutnya, Pemohon juga telah mempelajari UU SJSN yang telah diubah menjadi UU Cipta Kerja yang hanya mengalami perubahan pada Pasal 46 yang memuat tentang aturan baru jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).
“Sementara itu, dalam UU a quo ini sama sekali tidak mengubah ketentuan dari Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU SJSN,” demikian kata Sholeh dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi dua hakim lainnya, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra.
Di samping itu, pada permohonan perbaikan ini Sholeh menyebutkan telah menambahkan uraian mengenai persoalan ketika pekerja di PHK karena kesalahan atau tindak pidana tetap harus mendapatkan uang jaminan hari tua (JHT). Sebab, dalam pandangannya uang tersebut adalah uang tabungan yang dibayarkan pekerja dan pengusaha. Oleh karenanya, kendati pekerja melakukan kesalahan atau tindak pidana, maka hal tersebut tidak berkaitan langsung dengan uang JHT yang sejatinya menjadi hak pekerja.
Baca juga: PHK Tak Dapat JHT, UU SJSN Digugat
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon menjelaskan hari tua bermakna ketika pekerja sudah tidak cakap lagi bekerja. Artinya, pekerja sudah tua, beralih profesi menjadi wiraswasta, atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, adanya ketetapan pemerintah pada pasal a quo, justru tidak memberikan jaminan bagi peserta yang terkena PHK atau mengundurkan diri. Sehingga, Pemohon menilai ketentuan norma tersebut diskriminatif. Sebab, pekerja yang cacat total mendapatkan manfaat dari JHT, sementara pekerja yang terkena PHK harus menunggu hingga usia 56 tahun untuk memperolehnya. Bagi Pemohon, makna diskriminasi dalam persoalan perkara ini, yaitu pembuat undang-undang memberikan perlakuan yang berbeda bagi pekerja yang mengalami cacat total, meninggal dunia, dan pensiun dengan pekerja yang mengundurkan diri dan terkena PHK.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah meminta agar menyatakan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 yang telah diubah menjadi UU 11/2020 dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang ditambahkan frasa “mengundurkan diri dan terkena pemutusan hubungan kerja” pada kedua norma yang dipersoalkan.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas : Raisa Ayuditha