JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (11/4/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 38/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Mira Sylvania Setianingrum, Tommy Chandra Kurniawan, Daniel Maringantua Warren Haposan Gultom, dan Lingga Nugraha. Para Pemohon berprofesi sebagai kurator sekaligus pengurus.
Kuasa hukum para Pemohon, Rendy Anggara Putra dalam persidangan secara daring menjelaskan kerugian konstitusional para Pemohon atas berlakunya Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU setelah maknanya diperluas oleh Putusan MK Nomor 23/PUU/XIX/2021 yang membuka suatu upaya hukum kasasi terhadap Putusan PKPU yang berasal dari permohonan PKPU oleh kreditor.
“Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap perbuatan pengurus dan biaya kepengurusan serta imbalan jasa pengurus apabila upaya hukum kasasi telah membatalkan Putusan PKPU. Sehingga hak dan kewenangan konstitusional para Pemohon telah dirugikan,” kata Rendy kepada Ketua Panel Saldi Isra.
Rendy melanjutkan, sebelumnya Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU sudah pernah diajukan permohonan uji materiil oleh PT Sarana Yeoman Sembada yang amar putusannya dikabulkan oleh MK. Meskipun terdapat pasal-pasal dan undang-undang yang diuji sama, namun permohonan para Pemohon Perkara No. 38/PUU-XX/2022 berbeda dalam hal permintaan dan yang dikehendaki para Pemohon.
Bahwa dalam Putusan MK No. 23/PUU/XIX/2021 yang diajukan oleh PT Sarana Yeoman Sembada pada pokoknya meminta kepada Mahkamah untuk diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap Putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor.
Sedangkan dalam permohonan kali ini, para Pemohon mendalilkan mengenai perluasan makna terhadap Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang dimaknai perbuatan pengurus tetap sah dan mengikat apabila Putusan PKPU dibatalkan akibat adanya upaya hukum kasasi yang diajukan debitor serta majelis hakim yang membatalkan Putusan PKPU yang menetapkan biaya kepengurusan dan imbalan jasa pengurus.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Suhartoyo (anggota panel) antara lain menyoroti bagian kedudukan hukum permohonan. Sejauh ini, Suhartoyo mempertanyakan keterkaitan empat Pemohon Prinsipal dengan Putusan MK mengenai upaya hukum kasasi terhadap Putusan PKPU.
“Memang kalau kita lihat secara sederhana, dalam spektrum yang lebih luas, sepertinya setiap pengurus punya peluang untuk menganggap dirinya mempunyai kerugian konstitusional. Tetapi Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU setelah dimaknai oleh MK sifatnya lebih khusus,” jelas Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (anggota panel) menasihati para Pemohon agar mengelaborasi hal-hal yang diinginkan, tidak sekadar memaparkan ketentuan-ketentuan normatif. Selain itu, Wahiduddin meminta agar para Pemohon mempelajari tiga perkara sebelumnya yang menguji pasal dari undang-undang yang sama seperti para Pemohon saat ini. Termasuk melihat dan mencermati amar-amar putusan dari tiga perkara tersebut.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra selaku ketua panel menyarankan agar para Pemohon lebih memperjelaskan secara detail kerugian-kerugian hak konstitusionalnya yang dikaitkan syarat-syarat kerugian konstitusional Pemohon dalam mengajukan permohonan uji UU ke MK. Lainnya, Saldi menasihati agar kerugian-kerugian konstitusional para Pemohon sebaiknya ditempatkan di bagian kedudukan hukum para Pemohon.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.