JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (11/4/2022).
Para Pemohon melalui kuasa hukum Said Salahudin menyampaikan perbaikan permohonan. ia menegaskan, perbaikan permohonan meliputi sistematika permohonan, uraian permohonan, identitas pemohon, kewenangan MK, kedudukan hukum, uraian pokok permohonan serta uraian pada bagian petitum. Selain itu, Pemohon mengubah argumentasi dalil permohonannya terkait alasan tidak seharusnya pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara serentak. Karena jika didasarkan berdasarkan perolehan kursi DPR pada Pemilu 2024, maka Pemohon merasa hak konstitusionalnya sebagai partai politik baru terlanggar.
“Timbul kerugian konstitusional Pemohon yang merasa ditutup peluangnya, kesempatannya untuk mengusulkan capres/cawapres dalam Pemilu 2024,” ujar Said dalam sidang yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Apabila pemilihan anggota DPR dilakukan dengan waktu berbeda atau lebih awal dengan pemilihan capres-cawapres, Said menyampaikan hal tersebut memiliki konsekuensi, yakni pemilihan capres dan cawapres tidak akan didasari dari perolehan kursi DPR yang diperoleh oleh partai politik peserta Pemilu 2019.
“Melainkan akan didasari pada suara atau kursi DPR yang diperoleh partai politik peserta Pemilu 2024. Dengan demikian, sebagai parpol yang punya peluang sama dengan parpol lain dan berpeluang meraih kursi di Pemilu 2024, Pemohon berhak mengajukan capres-cawapres di Pilpres 2024,” urai Said.
Baca juga: Partai Gelora Indonesia Uji Aturan Keserentakan Pemilu 2024
Untuk diketahui, Perkara Nomor 35/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Partai Gelora Indonesia). Sebelumnya, Pemohon menyampaikan bahwa Pemohon berpotensi besar menjadi peserta pemilu pada tahun 2024, hal ini didasarkan karena adanya legalitas Surat Keputusan Kemenkumham Nomor M.HH-11.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan sebagai Badan Hukum Partai Politik (parpol) serta pencapaian internal tentang persyaratan administrasi dan faktual organisasi untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Undang‑Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Menurut Pemohon, hal itu akan hilang karena berlakunya ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu yang mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusulkan capres dan cawapres dengan syarat harus memenuhi paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR RI atau 25% perolehan suara hasil Pemilihan Umum sebelumnya (2019). Oleh karena itu, meskipun Pemohon pada saat tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden kemungkinan besar telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum tetapi tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, serta Pemohon tidak memiliki nilai tawar di dalam mengusulkan Calon Presiden - Wakil Presiden untuk bergabung dengan partai politik lain.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum megikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden terhitung sejak pemilihan umum tahun2024 dan seterusnya tidak dilaksanakan pada hari yang sama dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah ditetapkannya perolehan suara dan kursi DPR”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina