JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/4/2022). Para Pemohon melalui kuasa hukum Abdul Rohman menyampaikan perbaikan permohonan.
Abdul Rohman menegaskan, perbaikan permohonan meliputi bagian kedudukan hukum, di mana para Pemohon adalah perorangan warga negara yang merupakan aparatur sipil negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Selanjutnya, Pemohon menyampaikan Pasal 1 angka 2 UU Kejaksaan mengatur bahwa jaksa adalah pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional yang memiliki kekhususan dan melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya berdasarkan undang-undang.
“Pada prinsipnya, para Pemohon tidak mengubah subtansi permohonan. Namun di dalamnya ada beberapa perubahan posita,” kata Abdul Rohman kepada Panel Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga:
Lima Jaksa Persoalkan Ketentuan Usia Pensiun
Untuk diketahui, permohonan Nomor 27/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) ini diajukan oleh lima orang jaksa yaitu Fentje Eyfert Loway, T. R. Silalahi, Renny Ariyanny, Martini, dan Fahriani Suyuti. Para Pemohon menguji Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan yang mengatakan, “Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: … c. telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (17/3/2022), para Pemohon melalui kuasa hukum Abdul Rohman mengatakan, lima Pemohon tersebut adalah jaksa yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh karena ketidakjelasan Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan yang terkait dengan “usia pensiun jaksa” dan dalam penjelasan Pasal 12 huruf c yang hanya menyebutkan kata “cukup jelas”.
Dikatakan Abdul Rohman, jika mengacu kepada ketentuan perundang-undangan a quo, kejaksaan yang merupakan bagian kekuasaan kehakiman, sudah selayaknya tidak ada pembedaan kepada jaksa dalam jabatan fungsional serta pengaturan usia pensiun. Pemahaman jabatan fungsional dikaitkan dengan kepentingan perlunya penjelasan dan tidak diskriminatif di antara lembaga kekuasaan kehakiman lainnnya. Pengaturan usia pensiun jaksa menjadi tidak adil dengan diberlakukannya aturan Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan. Usia pensiun ini sangat merugikan bagi para Pemohon yang usianya mendekati usia 59 (lima puluh sembilan) dan usia 60 (enam puluh) tahun dipaksa berhenti dengan berlakunya aturan a quo.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.