JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang (UU Pilkada) pada Kamis (7/4/2022) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 37/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh A. Komarudin, Eny Rochayati, Hana Lena Mabel, Festus Menasye Asso, Yohanes G Raubaba, dan Prillia Yustiati Uruwaya. Para Pemohon menguji norma Pasal 201 ayat (3), ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada.
Kuasa hukum para Pemohon, Nurkholis Hidayat, dalam persidangan mengatakan bahwa pengujian ini merupakan ikhtiar dari para pemohon untuk mengawal kemajuan demokrasi dan negara hukum di Negara Republik Indonesia. Permohonan ini secara khusus dilandasi oleh perhatian yang besar terkait dengan kekhawatiran adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif.
“Dalam hal ini, ketentuan penunjukan penjabat sementara yang besar menurut kami potensi disalahgunakan atau kepentingan dari kekuasaan yang mengabaikan prisip demokrasi dan negara hukum,” kata Nurkholis kepada Wakil Ketua MK Aswanto selaku pemimpin sidang panel dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Lebih lanjut M. Fandi Denisatria selaku kuasa hukum lainnya menjelaskan bahwa pemohon merupakan WNI yang dibuktikan dengan KTP yakni warga Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemohon 1 dan 2, sebagai Pemohon 3, 4, 5 dan 6 merupakan warga dari Provinsi Papua. Dengan demikian menurutnya, para pemohon memiliki legal standing sebagai pembayar pajak.
Sementara dalam permohonannya, para Pemohon menyebut UU Pilkada menyebabkan para Pemohon akan dipimpin oleh Kepala Daerah yang bukan dipilih berdasarkan pemilihan yang demokratis hal ini jelas melanggar hak-hak para Pemohon. Sebab, pada 2022 nanti masa jabatan pemimpin DKI Jakarta akan habis. Selama kurang lebih 2 (dua) tahun, Pemohon 1 dan 2 akan dipimpin oleh kepala daerah yang tidak dipilih oleh rakyat. Hal ini juga berlaku bagi Pemohon 3 sampai dengan Pemohon 6.
Selain itu, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah khususnya DKI Jakarta memungkinkan adanya skema dua putaran apabila pada pemilihan putaran pertama kandidat tidak mencapai syarat hasil suara satu putaran. Proses bertambahnya waktu dapat juga terjadi jika terdapat sengketa hasil pemungutan suara di MK yang dapat memakan waktu hingga 4 (empat) bulan. Menurut UU Pilkada, masa jabatan Gubernur/Walikota/Bupati yang masa jabatannya habis di tahun 2022 akan digantikan oleh Penjabat (PJ) Gubernur/Walikota/Bupati yang berlangsung selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 kali sehingga total masa jabatan PJ selama 2 tahun. Dengan adanya penunjukan Penjabat Kepala Daerah oleh Pemerintah Pusat hal ini jelas melanggar asas otonomi daerah di mana wewenang daerah untuk mengambil keputusan diambil oleh Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Para Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal yang diujikan tidak konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai: (a) ada ketentuan mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah yang demokratis, (b) Calon Penjabat Kepala Daerah memiliki legitimasi dan penerimaan paling tinggi dari masyarakat, (c) Merupakan orang asli Papua hal ini berlaku untuk Penjabat Kepala Daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat, (d) melalui proses penilaian dari berbagai unsur masyarakat, (e) ada ketentuan yang jelas, (f) dapat memperpanjang masa jabatan atau habis masa baktinya pada tahun 2022 atau 2023, (g) bukan berasal dari Kepolisian dan TNI serta (h) Independen dan bukan representasi kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta para pemohon untuk menguraikan secara cermat legal standing berkaitan dengan adanya kluster antar para pemohon.
“Supaya penjelasan per-klusteran itu bisa menguraikan secara lengkap kalau subjek hukumnya itu jelas, subjek hukum yang bisa diberikan legal standing. Subjek ini ada kerugian konstitusionalitasnya, ada kerugiannya. Kerugian konstitusionalnya harus jelas. Dan kerugian konstitusonalitasnya itu diakibatkan oleh berlakunya UU ini,” kata Arief menasihati.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra juga mengingatkan para Pemohon mengenai uraian legal standing. Saldi mencermati legal standing dalam permohonan yang diuraikan ini pada umumnya WNI menggunakan alasan memiliki legal standing pembayar pajak. Menurut Saldi, pembayar pajak harus dikaitkan dengan UU Keuangan Negara. Sementara yang diujikan bukan UU Keuangan Negara tetapi tentang pengisian jabatan kepala daerah.
“Apakah relevan menggunakan tax payer sebagai bangunan argumentasi. Mungkin jauh lebih tepat yang diuraikan itu kerugian-kerugian aktual dan kerugian-kerugian potensial yang dialami oleh pemohon I-VI itu pengisian di periode transisi kepala daerah karena dipilih serentak 2024 itu dengan Pemohon ini harus dijelaskan yang potensial apa, lalu yang faktualnya apa, jadi tidak terlalu relevan menggunakan dalil tax payer,” jelas Saldi.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.