JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Rabu (6/4/2022). Permohonan perkara Nomor 24/PUU-XIX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Petege.
Pada sidang kedua ini, Dixon Sanjaya dan Hans Poliman selaku tim kuasa hukum Pemohon menyebutkan telah melakukan perbaikan permohonan sebagaimana nasihat hakim panel pada sidang Pemeriksaan Pendahuluan Rabu (16/3/2022), yakni mengurangi ayat yang diujikan. Semula, Pemohon mengujikan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Pada sidang ini, Pemohon menghilangkan Pasal 2 ayat (3) UU Perkawinan.
“Pada saat persidangan lalu berdasarkan nasihat hakim panel, maka kami melakukan penyesuaian dan kemudian menghilangkan Pasal 2 ayat (3) dari UU yang diujikan,” kata Dixon dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Baca juga:
Gagal Nikah karena Beda Agama, Seorang Warga Uji UU Perkawinan
Sebagai informasi, permohonan perkara Nomor 24/PUU-XIX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Petege, seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Akibatnya, hak-hak konstitusional Pemohon dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.
Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Kemudian Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Terakhir, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyatakan, “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Penulis: Sri Pujianti.
Humas: Raisa Ayuditha.