JAKARTA (Suara Karya): Anggota Pansus RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD Rustam E Tamburaka mengatakan, ada wacana pimpinan DPR ke depan dijabat oleh pimpinan partai politik pemenang Pemilu 2009.
"Memang ada wacana pimpinan partai pemenang pemilu otomatis menjadi pimpinan DPR dan pimpinan DPR menjadi speaker of the house," kata Rustam E Tamburaka saat debat publik RUU tentang Susduk MPR, DPR, dan DPD, di Bengkulu, Kamis.
Rustam yang anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar itu juga mengatakan, selain masalah pimpinan DPR, berbagai wacana juga mengemuka dalam pembahasan RUU Susduk tersebut, seperti pengerucutan jumlah komisi dan jabatan sekretaris jenderal MPR, DPR, dan DPD.
Ia menjelaskan, jumlah fraksi di DPR nanti hanya berkisar lima sampai tujuh fraksi, lebih kecil dibandingkan saat ini yang 10 fraksi.
Partai yang bisa membentuk fraksi hanya memperoleh kursi minimal tiga persen dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Ini artinya, sebuah partai politik bisa membentuk fraksi tersendiri jika memiliki 17 kursi. Ia mengakui, dengan aturan ini maka bisa dipastikan hanya partai besar yang akan membentuk fraksi sendiri.
Untuk partai kecil yang perolehan kursinya di bawah tiga persen, kata dia, bisa bergabung dengan fraksi lain.
Sedangkan untuk posisi sekjen, ada yang mengusulkan agar cukup satu saja untuk tiga lembaga (MPR, DPR, dan DPD). Sedangkan yang menangani kegiatan harian pada lembaga-lembaga itu akan diangkat wakil sekjen.
Dalam pelaksanaan pergantian antarwaktu (PAW), menurut dia, juga akan diatur secara tegas sesuai dengan prosedur yang berlaku, yakni hanya bisa dilakukan oleh KPU, berdasarkan nomor urut.
"Pelaksanaan PAW saat ini kadang masih terjadi pelanggaran prosedur, sering tak melalui KPU, tapi langsung ditentukan oleh partai politik," katanya.
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (CETRO) Hadar N Gumay berpendapat, aturan parliamentary threshold (PT) atau batas minimal perolehan suara parpol secara nasional untuk bisa memperoleh kursi di DPR, seperti yang diatur dalam UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, akan mengerucutkan jumlah partai.
"Aturan itu bagus karena bisa mengefisienkan demokrasi," ujarnya.
Menurut Hadar, jika menggunakan data hasil Pemilu 2004, maka berdasarkan ketentuan PT sebesar 2,5 persen perolehan suara secara nasional hanya akan ada delapan partai yang bisa duduk di DPR.
Kursi Bertambah
Kedelapan partai itu adalah Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB).
"Partai lainnya terpaksa dihapus atau tak berhak memiliki kursi di DPR," katanya.
Dengan aturan PT itu, menurut dia, partai-partai besar akan diuntungkan karena bakal menambah banyak kursi dari limpahan kursi partai-partai yang terpaksa merelakan kursinya untuk dibagi-bagi ke parpol yang berhak duduk di DPR.
Berdasarkan data hasil Pemilu 2004 itu pula, kata Hadar, pada Pemilu 2009 dengan aturan PT yang baru, Partai Golkar bisa menambah sebanyak 39 kursi, PDIP akan bertambah 15 kursi, dan PKB bertambah dua kursi.
Sementara PAN akan kehilangan tujuh kursi, Partai Demokrat dan PPP masing-masing akan kehilangan tiga kursi, dan PKS juga akan kehilangan satu kursi.
Aturan PT, ujarnya, memang dibuat untuk menyederhanakan jumlah partai di parlemen, karena dengan sedikitnya jumlah partai atau fraksi di DPR akan memudahkan pengambilan keputusan.
Aturan electoral threshold (ET) atau perolehan suara parpol untuk bisa ikut pemilu berikutnya, kata Hadar, akan membuat jumlah parpol di luar parlemen menjadi berkurang secara signifikan karena mau tidak mau, partai yang tidak lolos ET sebesar tiga persen suara secara nasional, harus membentuk partai baru atau bergabung dengan partai lain jika ingin ikut pemilu berikutnya. (Victor AS)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id