Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada Selasa (5/4/2022) siang. Para Pemohon yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang dirugikan secara potensial dalam apabila diberlakukan UU IKN. Permohonan yang teregistrasi sebagai Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Abdullah Hehamahua (Pemohon I), Marwan Batubara (Pemohon II), Muhyidin Junaidi, (Pemohon III), dll.
Perbaikan permohonan antara lain menambah 12 Pemohon, sehingga menjadi 24 Pemohon. “Susunan Pemohon I-III tidak ada perubahan. Tapi mulai Pemohon IV dan seterusnya memang ada perubahan. Tujuan perubahan untuk mempermudah, mengklasifikasikan sesuai dengan kesamaan kerugian konstitusional para Pemohon,” kata Viktor Santoso Tandiasa.
Terkait kedudukan hukum Pemohon, sebelumnya dalam permohonan telah dimasukkan tenggang waktu pengujian formil pada halaman 10 permohonan para Pemohon. Namun terjadi perbaikan. Sesuai dengan Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 tidak memasukkan tenggang waktu dalam sistematika permohonan pengujian formil
Dalam Pasal 10 ayat (2) PMK No. 2 Tahun 2021 mengatur sistematika sekurang-kurangnya memuat Identitas Pemohon yang memuat nama Pemohon, kuasa hukum, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat rumah, alamat kantor dan alamat surat elektronik. Setelah itu dituliskan Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum, Posita dan Petitum.
Baca juga: Poros Nasional Kedaulatan Negara Uji UU IKN
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan tidak dapat memberikan pendapat, masukan, saran dan kritik dalam pembentukan UU IKN, dengan proses pembentukan UU IKN yang hanya memerlukan waktu 42 (empat puluh dua) hari dan terlihat terburu-buru, sehingga tidak membuka partisipasi publik secara maksimal sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di lapangan.
Selain itu, Pemohon mendalilkan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 22A UUD 1945 yang merupakan pendelegasian norma kepada ketentuan tersebut dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 6 huruf a, huruf e, huruf s, huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.