JAKARTA, HUMAS MKRI - Berbicara Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang (PUU), terbagi menjadi pengujian formil dan pengujian materiil. Dalam pengajuannya, kedua mekanisme pengujian ini memiliki spesifikasi yang berbeda. Pengujian formil berkaitan dengan pengujian tata cara pembentukan undang-undang. Sedangkan pengujian materiil berkaitan dengan materi atau isi dari undang-undang tersebut.
Hal tersebut disampaikan Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Kegiatan ini diselenggarakan oleh DPN Peradi bekerja sama dengan Universitas Pamulang pada Selasa (29/3/2022) secara daring.
Kemudian Suhartoyo melanjutkan pembahasan mengenai Pemohon dan Objek Pengujian dalam perkara PUU di MK. Pemohon yaitu perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; kesatuan masyarakat hukum adat; badan hukum publik atau privat; dan lembaga negara. Ketentuan ini termuat dalam Pasal 51 UU MK dan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021.
Sementara itu, sambung Suhartoyo, objek pengujian formil pengujian undang-undang yakni proses pembentukan undang-undang dengan ketentuan 45 hari sejak norma tersebut diundangkan. Sedangkan untuk pengujian materiil, yang dujikan dapat berupa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang.
Berikutnya Suhartoyo menerangkan tentang syarat anggapan adanya kerugian konstitusional sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 2 Tahun 2021. Di antaranya, adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; adanya kemungkinan jika dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Suhartoyo pun mengajak para peserta kegiatan PKPA untuk mendalami proses persidangan di MK, mulai dari pemeriksan pendahuluan, jalannnya sidang pemeriksaan, hingga putusan perkara MK.
“Namun tidak semua permohonan di MK itu sudah jelas baru diputuskan, tetapi ada juga permohonan yang memang tidak jelas sehingga dinilai untuk segera diputus oleh Mahkamah setelah dilakukan Rapat Permusyawaratan Hakim dengan sembilan hakim konstitusi,” jelas Suhartoyo.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.