JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan Viktor Santoso Tandiasa dan dua Pemohon lainnya akhirnya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” demikian disampaikan Ketua Panel Anwar Usman terhadap Perkara Nomor 10/PUU-XX/2022 dalam sidang pengucapan putusan, pada Selasa (29/3/2022).
Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon. Bahwa para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya mengemukakan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat (Pemohon I), sebagai Peneliti (Pemohon II), dan berstatus sebagai mahasiswa (Pemohon III) yang memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi dan menganggap mengalami kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK.
Baca juga: Ketentuan UU AP dalam UU Cipta Kerja Dinilai Hilangkan Kewenangan Pengadilan
Berkenaan dengan argumentasi para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya tersebut, setelah Mahkamah mencermati alat bukti yang diajukan, baik oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, Mahkamah mempertimbangkan, bahwa Pemohon I dalam menerangkan kedudukan hukumnya telah menganggap dirinya mengalami kerugian aktual dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati secara saksama bukti yang diajukan oleh para Pemohon, khususnya terhadap Pemohon I telah ternyata tidak terdapat surat kuasa yang bersifat khusus yang diberikan oleh prinsipal (klien) untuk mengajukan permohonan pengujian undangundang ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah hanya mendapatkan alat bukti surat kuasa khusus yang berasal dari prinsipal (klien) Pemohon I untuk dipergunakan mengajukan permohonan pada Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM serta surat kuasa khusus untuk mengajukan upaya Fiktif Positif pada pengadilan TUN.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon I sebagai advokat yang tidak secara langsung mengalami kerugian konstitusional, tidak dapat serta merta menggunakan kerugian prinsipal (klien) sebagai kerugian konstitusionalitasnya, kecuali dengan surat kuasa khusus mewakili kepentingan prinsipalnya (kliennya) tersebut untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konsitusi. Bahwa advokat tidak dapat menggunakan alasan kerugian konstitusional prinsipal (klien) tersebut sebagai alasan kerugian konstitusional Pemohon I sebagaimana yang telah Mahkamah tegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya sebagai dasar untuk mempertimbangkan kedudukan hukum yang diajukan oleh advokat dengan didasarkan pada kasus tertentu yang telah dialami oleh prinsipalnya (kliennya). Sebab, subjek hukum yang mengalami kerugian kontitusional secara faktual sesungguhnya adalah prinsipal (klien), sedangkan advokat yang bersangkutan belum tentu mengalami kerugian spesifik maupun aktual dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Demikian pula halnya dengan Pemohon II dan Pemohon III, walaupun telah menguraikan perihal kerugian konstitusionalnya, namun oleh karena kerugian tersebut tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual terjadi pada Pemohon II dan Pemohon III, maka menurut Mahkamah, Pemohon II dan Pemohon III tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, telah ternyata pokok permohonan para Pemohon prematur. Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan dan hal-hal lain dari permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Baca juga: Pemohon Uji UU AP dalam UU Cipta Kerja Sampaikan Perbaikan
Untuk diketahui, perkara Nomor 10/PUU-XX/2022 diajukan oleh Victor Santoso Tandiasa (Pemohon I), Muhammad Saleh (Pemohon II), Nur Rizqi Khafifah (Pemohon III) yang berturut-turut berprofesi sebagai advokat, peneliti PSHK, dan mahasiswa.
Parningotan Malau selaku kuasa hukum para Pemohon menyatakan Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Parningotan menjelaskan, terhadap Pemohon I, ketentuan pasal tersebut menimbulkan kerugian bagi dirinya karena tidak dapat menerima putusan penerimaan permohonan yang diajukan pada Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkum HAM untuk memperoleh diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Sebab, norma tersebut telah menghilangkan kewenangan pengadilan untuk memberikan putusan atas permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum. Dengan demikian, hal tersebut telah menimbulkan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum karena permohonan yang diajukan Pemohon I tersebut tidak dibalas dan telah melewati tenggat waktu 10 hari berdasarkan Pasal 53 UU AP atau tenggat waktu 5 hari sebagaimana perubahannya menjadi Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja.
“Akibatnya Pemohon I tidak dapat menempuh upaya Fiktif Positif untuk membela kepentingan klien dan ia pun tidak bisa menjalankan tugas yang sudah diamanahkan untuk mendapatkan kepastian hukum untuk memperoleh putusan penerimaan permohonannya,” kata Victor Santoso pada sidang yang dihadirinya secara virtual dengan dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams bersama Hakim Konsititusi Manahan MP Sitompul dan Saldi Isra dalam Sidang Panel MK.
Sementara terhadap Pemohon II dan III, norma Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja juga berpotensi menghalangi hak konstitusionalnya karena sebagai bagian dari warga negara yang memiliki perhatian pada persoalan administrasi pemerintahan, maka dengan tiadanya kewenangan pengadilan yang berkaitan dengan upaya hukum Fiktif Positif berdampak pula pada tugas advokasi yang ditekuninya.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana