JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan diajukan 27 Warga Negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di 12 negara.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan petikan amar Putusan Nomor 8/PUU-XX/2022 dalam sidang yang digelar di MK, Selasa (29/3/2022) secara daring.
Pertimbangan hukum MK dalam putusan tersebut antara lain menyatakan, berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon Perkara Nomor 8/PUU-XX/2022 sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk dipilih sebagai kandidat (right to be candidate) calon Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah sejak Putusan Nomor 66/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut: “ … Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.”
Berdasarkan pertimbangan dalam putusan tersebut, kerugian hak konstitusional atas hak untuk dipilih sebagai kandidat bagi perseorangan warga negara Indonesia adalah sepanjang para Pemohon mendapatkan dukungan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Persyaratan tersebut yang oleh para Pemohon tidak dapat dipenuhi dalam permohonan a quo, sehingga Mahkamah menilai tidak terdapat kerugian terhadap hak untuk dipilih sebagai kandidat (right to be candidate) calon Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana anggapan para Pemohon.
Berkenaan adanya anggapan kerugian hak untuk mendapatkan akses yang sama dalam pemilu serta hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara serta berpartisipasi dalam pembangunan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, Mahkamah tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat antara norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon tersebut, baik secara aktual maupun potensial.
Menurut Mahkamah, norma Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sama sekali tidak menghalangi hak warga negara untuk mendapatkan akses yang sama dalam pemilu maupun hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara serta berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam konteks pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maka segala hak konstitusional warga negara sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon tersebut akan bermuara pada esensi tujuan pemilu itu sendiri, yaitu sebagai sarana perwakilan politik dimana rakyat dapat memilih wakil-wakilnya untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingannya, dalam hal ini suksesi kepemimpinan secara nasional.
Oleh karenanya, pun dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu, hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan akses yang sama dalam pemilu serta berpartisipasi dalam pembangunan tetap akan terpenuhi karena aspirasi dan kepentingannya tetap terakomodir dalam pemilu yang akan menghasilkan suksesi kepemimpinan sesuai dengan pilihan rakyat. Dengan demikian menurut Mahkamah, Pemohon VI, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon XIX, Pemohon XX, dan Pemohon XXII sampai dengan Pemohon XXIV juga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Mahkamah menyatakan, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Baca juga:
WNI di 12 Negara Uji Ketentuan "Presidential Threshold"
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.