JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dimohonkan oleh Partai Ummat. Putusan Nomor 11/PUU-XX/2022 dibacakan dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon diwakili oleh Ridho Rahmadi sebagai Ketua Umum dan A. Muhajir selaku Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Ummat.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan Wakil Ketua MK Aswanto, MK mengatakan bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum partai politik dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan perihal ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, in casu Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 74/PUUVIII/2020 bertanggal 14 Januari 2021.
“Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-VIII/2020 tersebut di atas maka partai politik yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik yang sudah pernah menjadi peserta pemilihan umum sebelumnya,” jelas Aswanto.
Baca juga: Partai Ummat Perbaiki Permohonan Uji Ketentuan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Menurut Mahkamah, Pemohon dalam permohonan tersebut adalah partai politik yang baru terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan belum pernah diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik administrasi maupun faktual sebagaimana halnya persyaratan untuk menjadi partai politik peserta pemilihan umum.
“Mahkamah partai a quo belum dapat dinyatakan sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon dalam permohonan a quo,” tegas Aswanto.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. “Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan,” ujarnya.
Baca juga: Terkendala Usung Capres, Partai Ummat Uji Ketentuan Presidential Threshold
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, Pemohon menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah open legal policy dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Menurut Pemohon, Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 merupakan delegasi yang mengamalkan hal-hal terkait dengan teknis, sementara ambang batas 20% bukan berbicara mengenai teknis dan malah menghambat terjadinya demokrasi yang fair dan kompetitif. Sementara itu, mengenai pengusungan, sambung Raziv, hal tersebut seharusnya telah diatur secara limitatif dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, keberadaaan Pasal 222 UU Pemilu ini diyakini pemohon bukan merupakan open legal policy melainkan close legal policy. Sehingga, seharusnya pasal a quo dibatalkan oleh MK. Sehingga, pada petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita