JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji aturan seleksi pengisian jabatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen). Putusan Nomor 20/PUU-XIX/2021 dibacakan pada Selasa (29/3/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini diajukan oleh Sri Mardiyati yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI). “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Terkait permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum mengungkapkan bahwa dari fakta-fakta persidangan, Mahkamah menemukan persoalan tidak diperolehnya rekomendasi jabatan akademik profesor Pemohon tersebut merupakan persoalan implementasi atas berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditentukan. Hal ini menunjukkan dalil Pemohon bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma.
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat pengusulan dari perguruan tinggi Pemohon untuk jabatan akademik profesor (guru besar) dilakukan 27 (dua puluh tujuh) hari sebelum batas usia pensiun Pemohon. Pemohon lahir pada 25 Oktober 1954 sehingga batas usia pensiun Pemohon pada 1 November 2019. Sementara itu, dalam Peraturan Kepala badan Kepegawaian Negara Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, dinyatakan batas usia pensiun telah diberitahukan sejak 15 (lima belas) bulan sebelum pensiun. Lebih lanjut berkenaan dengan waktu dalam proses pengusulan jenjang jabatan akademik, proses dilakukan sesuai norma layanan SLA (Service Level Agreement) di dalam standar operasional prosedur. Untuk penilaian Lektor Kepala maksimal 45 (empat puluh lima) hari kerja di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.
Sedangkan layanan penilaian profesor selama 55 (lima puluh lima) hari kerja sejak usulan diterima, sampai ditetapkan angka kreditnya. Dengan merujuk pada Surat Edaran Direktorat Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 1142 Tahun 2016 tanggal 9 Mei 2016, disampaikan edaran agar pengusulan kenaikan jabatan akademik minimal 2 (dua) tahun sebelum batas usia pensiun. Selanjutnya diterbitkan pula Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 166/E.E4/K8/2020 tanggal 28 Februari Tahun 2020 yang berlaku sejak Januari 2021 menyatakan bahwa usulan kenaikan jabatan akademik ke Lektor Kepala dan Profesor maksimal 1 (satu) tahun sebelum batas usia pensiun. Namun demikian, dalam persidangan terungkap fakta bahwa walaupun pengusulan tersebut dilakukan 27 (dua puluh tujuh) hari sebelum batas usia pensiun Pemohon, yakni diajukan pada 4 Oktober 2019.
“Terhadap pengusulan tersebut tetap dilakukan proses penilaian yaitu pada 22 Oktober 2019, 25 Februari 2020, dan 26 sampai dengan 27 Februari 2020, yang hasilnya belum merekomendasikan usulan atas nama Pemohon untuk diajukan sebagai profesor. Dalam kaitan ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, merujuk pada fakta-fakta tersebut maka persoalan tidak diperolehnya rekomendasi jabatan akademik profesor Pemohon tersebut merupakan persoalan implementasi atas berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditentukan dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma,” jelas Enny.
Baca juga: Dosen FMIPA UI Uji Ketentuan Pengangkatan Guru Besar
Terlepas persoalan Pemohon a quo merupakan persoalan implementasi atau penerapan norma, Enny melanjutkan berkaitan dengan jenjang jabatan akademik khususnya profesor atau guru besar, menurut Mahkamah, keberadaan Permendikbud 92/2014 serta PO PAK 2014 dan kini PO PAK 2019 merupakan instrumen yuridis sebagai pengaturan lebih lanjut dari Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 dan Pasal 72 ayat (6) UU 12/2012 yang bersifat teknis operasional untuk memastikan standarisasi penilaian dan prosedur penilaian sehingga mutu dosen sebagai pemegang jabatan akademik dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).
“Dalam hal ini, Mahkamah perlu menegaskan, sekalipun terdapat delegasi dan kewenangan dalam membentuk Peraturan Menteri, delegasi dan kewenangan dimaksud tidak dibenarkan mengurangi dan menambah substansi undang-undang yang menjadi dasar pembentukan peraturan menteri dimaksud,” ujar Enny.
Baca juga: Dosen FMIPA UI Perbaiki Permohonan Uji Materi Aturan Pengangkatan Guru Besar
Mekanisme Pengusulan Dosen
Dalam putusan tersebut, Mahkamah juga mempertimbangkan mengenai persyaratan dan mekanisme proses pengusulan dosen tetap berbeda dengan dosen tidak tetap termasuk profesor kehormatan karena dosen tidak tetap diangkat berdasarkan perjanjian kerja/kontrak yang diatur oleh perguruan tinggi, antara lain bekerja paruh waktu. Menurut Mahkamah, jika akan diajukan sebagai profesor kehormatan tidak diharuskan adanya persyaratan angka kredit dalam jumlah tertentu, tetapi berdasarkan penilaian pengetahuan tacit (tacit knowledge), yaitu pengetahuan yang hanya berdasarkan pengalaman pikiran seseorang, sesuai dengan pemahaman dan pengalaman orang itu sendiri yang belum dijadikan pengetahuan sesuai dengan kaidah keilmuan, namun memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) di perguruan tinggi agar bermanfaat untuk masyarakat. Lain halnya, bagi dosen tetap, explicit knowledge justru menjadi aspek penting untuk menunjukkan keahlian dan prestasi luar biasa di bidang akademis yang diwujudkan dalam bentuk karya-karya ilmiah seperti makalah, laporan penelitian, jurnal ilmiah, prosiding, serta buku-buku ataupun bentuk karya monumental lainnya.
Enny menambahkan faktor intensitas dalam pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat juga tetap menjadi pertimbangan penting. Sementara itu, perihal syarat publikasi dalam jurnal internasional bereputasi, Mahkamah berpendapat jika syarat ini tetap akan dipertahankan, tulisan yang telah dimuat tidak perlu dilakukan reviu ulang oleh pereviu perguruan tinggi dan/atau kementerian sepanjang tulisan tersebut dimuat dalam jurnal bereputasi yang telah ditentukan daftarnya oleh kementerian dan daftar tersebut diperbarui secara regular. Sehingga, hal tersebut menjadi persyaratan yang sangat menentukan yang akan dinilai dengan cermat dan dituangkan dalam bentuk angka-angka kredit (KUM).
“Lebih lanjut, melalui UU 12/2012 ditegaskan batas usia pensiun dosen tetap yang menduduki jabatan akademik profesor adalah 70 (tujuh puluh) tahun dan kepadanya mulai ditingkatkan bentuk penghargaan oleh negara dengan memberikan selain tunjangan profesi juga tunjangan kehormatan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” papar Enny.
Sebelumnya, Pemohon berprofesi sebagai dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI) merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen. Jabatan terakhir Pemohon adalah lektor kepala. Pemohon diusulkan oleh Rektor UI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk diangkat sebagai guru besar atau profesor pada 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI, termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar di bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun usulan tersebut ditolak oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi—dengan alasan karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal pihak UI sudah menyetujui dan telah mengesahkan hasil validasi atas karya ilmiah Pemohon.
Pemohon mendalilkan, seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) UU GURU DAN DOSEN, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor. Tetapi karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan oleh Menteri, maka kewenangan untuk mengangkat dan menetapkan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan Direktorat Pendidikan Tinggi. Pemohon beranggapan, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU GURU DAN DOSEN disebutkan adanya frasa bahwa pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Tiara Agustina