JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan Nomor 20/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Adang Suhardja, Marwan Batubara, Ali Ridhok, dan Bennie Akbar Fatah. Sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini digelar di MK pada Senin (28/03/2022).
Dalam persidangan tersebut, kuasa hukum para Pemohon, Herman Kadir, menyampaikan perbaikan mengenai kedudukan hukum para Pemohon. Selanjutnya, sambung Herman, para Pemohon juga menguraikan kerugian konstitusional yang dialami secara lebih rinci.
Baca juga:
Ketentuan “Presidential Threshold” Kembali Diuji
Sebelumnya, dalam persidangan pemeriksaan yang digelar di MK pada Senin (14/03/2022), Adang Suhardja, Marwan Batubara, Ali Ridhok, dan Bennie Akbar Fatah (para Pemohon) mengujikan Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Kuasa hukum para Pemohon, Herman Kadir mengatakan Pasal 222 UU Pemilu mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional”. Hal ini menurutnya bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.”
“Dengan menggunakan penafsiran sistematis-gramatikal seharusnya syarat pencalonan presiden dan wakil presiden merujuk pada Pasal 6 UUD 1945 khususnya Pasal 6 ayat (2) UUD 1945,” kata Herman secara daring.
Selain itu, kata Herman, menggolongkan presidential threshold sebagai open legal policy tidaklah tepat. Seyogianya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai close legal policy sebab UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan.
Lebih lanjut Herman menegaskan pembentuk UU dalam merumuskan dan menetapkan ketentuan presidential threshold 20% kursi atau 25% suara berdasarkan hasil pemilihan umum sebelumnya, tidak didasarkan pada penghormatan atau pemenuhan hak rakyat untuk memilih (right to vote) atau mendapatkan sebanyak-banyak pilihan alternatif pasangan calon presiden.
Menurut para Pemohon, seharusnya pembentuk UU dalam menetapkan presidential threshold tidak melalui mekanisme voting (suara terbanyak) melainkan dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat (terutama yang kontra terhadap penerapan presidential threshold) dan secara proporsional mengakomodasi suara minoritas dalam kelembagaan parlemen.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.