JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (23/3/2022). Samiani selaku perseorangan warga negara yang mengajukan permohonan ini menyatakan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU SJSN sebagaimana diubah UU Ciptaker bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Pasal 35 ayat (2) UU SJSN berbunyi, ”Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjain agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.” Pasal 37 ayat (1) UU SJSN berbunyi, “Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai yang dibayarkab sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiunan, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.”
M. Sholeh selaku kuasa hukum, Pemohon menjelaskan hari tua bermakna ketika pekerja sudah tidak cakap lagi bekerja. Artinya, pekerja sudah tua, beralih profesi menjadi wiraswasta, atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, adanya ketetapan pemerintah pada pasal a quo, justru tidak memberikan jaminan bagi peserta yang terkena PHK atau mengundurkan diri. Sehingga, Pemohon menilai ketentuan norma tersebut diskriminatif. Sebab, pekerja yang cacat total mendapatkan manfaat dari JHT, sementara pekerja yang terkena PHK harus menunggu hingga usia 56 tahun untuk memperolehnya. Bagi Pemohon, makna diskriminasi dalam persoalan perkara ini, sambung Sholeh, yaitu pembuat undang-undang memberikan perlakuan yang berbeda bagi pekerja yang mengalami cacat total, meninggal dunia, dan pensiun dengan pekerja yang mengundurkan diri dan terkena PHK.
“Padahal hakikatnya sama-sama berhenti bekerja. Oleh karenanya pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu,” jelas Sholeh dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah meminta agar menyatakan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 yang telah diubah menjadi UU 11/2020 dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang ditambahkan frasa “mengundurkan diri dan terkena pemutusan hubungan kerja” pada kedua norma yang dipersoalkan.
Ketentuan Mengundurkan Diri
Menanggapi Perkara Nomor 33/PUU-XX/2022 tersebut, Hakim Konstitusi Manahan memberikan nasihat pada Pemohon tentang UU 40/2004 yang dikatakan telah diubah menjadi UU Ciptaker. Sebab, Manahan mendapati ada beberapa undang-undang yang tidak diikutsertakan pada perubahan UU Ciptaker. Oleh karena itu, Pemohon diharapkan dapat memastikan keberadaan perubahan pasal a quo dalam norma terbarunya. Berikutnya, Manahan juga meminta agar Pemohon menjelaskan kedudukan hukum pihaknya, yang ternyata masih bekerja aktif meski beberapa waktu lalu sempat mengundurkan diri dari tempat bekerjanya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Y.P. Foekh meminta agar Pemohon mencermati ketentuan mengundurkan diri atau PHK. “Apakah ada aturan tersendiri dalam norma tertentu atau tersendiri yang menjelaskan tentang ketentuan tentang peserta yang terkena PHK atau mengundurkan diri ini. Sebab, jika UU a quo dikabulkan justru nantinya ini berpotensi merugikan Pemohon,” kata Daniel. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas : Raisa Ayuditha