JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (21/3/2022). Perkara Nomor 13/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh sejumlah wiraswasta dan ibu rumah tangga (IRT). Para Pemohon mendalilkan jika Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sidang kedua ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
Pada sidang ini, para Pemohon melalui Syafril Sjofyan menyampaikan perbaikan permohonan yang telah dilakukannya. Perbaikan tersebut, di antaranya menambahkan kewenangan MK dalam perkara a quo, menambahkan uraian terkait legal standing para Pemohon, mengganti peraturan hukum acara terbaru sesuai dengan PMK 2/2021, dan menambahkan dalil yang berbeda dengan perkara yang pernah diajukan ke MK.
“Sehingga kami menyertakan argumen tentang Putusan MK Nomor 66/PUU-XIX/2021, maka kami mengubah semua dalil yang telah disampaikan pada awal sidang dan tidak lagi mendalilkan pengujian dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) tetapi langsung dengan UUD 1945,” sampai Syafril yang menghadiri persidangan secara daring bersama dengan para Pemohon lainnya, yakni Endang Wiryaningsih, Tito Roesbandi, Elyan Verna Hakim, Ida Farida, Neneng Khodijah, dan Lukman Nulhakim.
Baca juga; Sejumlah Wiraswasta dan IRT Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden
Saat sidang pendahuluan, para Pemohon mengatakan jika ketentuan Pasal 222 UU Pemilu melanggar hak konstitusional partai politik dalam menyediakan dan menyeleksi sebanyak-banyak calon pemimpin masa depan. Secara konseptual menurut para Pemohon, konstruksi normatif dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 meletakkan dua kepentingan secara bersamaan, yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipilih sebagai warga negara. Sehingga, ketentuan pasal tersebut berkorelasi dengan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon dalam hal mendapatkan sebanyak-banyaknya pilihan pemimpin yang akan menyelenggarakan pemerintahan pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2024 nanti. Para Pemohon berpendapat partai politik hanyalah kendaraan bagi para calon presiden dan wakil presiden, sedangkan penerima manfaat utama dari penyelengggaraan pemilihan tersebut adalah warga negara.
Berikutnya, para Pemohon mengatakan jika berpedoman pada Putusan MK Nomor 74/PUU-XVIII/2020 lalu, yang oleh empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda. Menurut para hakim tersebut hak yang diberikan konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional tidak boleh dihilangkan/direduksi dalam peraturan yang lebih rendah. Dengan demikian, ketentuan yang ada pada Pasal 222 UU Pemilu yang menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Sehingga sudah seharusnya pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum secara mengikat.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana