JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (17/3/2022). Permohonan perkara Nomor 27/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh lima orang jaksa yaitu Fentje Eyfert Loway, T. R. Silalahi, Renny Ariyanny, Martini, dan Fahriani Suyuti. Para Pemohon menguji Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan yang mengatakan, “Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: … c. telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun”.
Salah seorang kuasa hukum para Pemohon, Abdul Rohman, mengatakan lima Pemohon tersebut adalah jaksa yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh karena ketidakjelasan Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan yang terkait dengan “usia pensiun jaksa” dan dalam penjelasan Pasal 12 huruf c yang hanya menyebutkan kata “cukup jelas”.
Dikatakan Abdul Rohman, jika mengacu kepada ketentuan perundang-undangan a quo, kejaksaan yang merupakan bagian kekuasaan kehakiman, sudah selayaknya tidak ada pembedaan kepada jaksa dalam jabatan fungsional serta pengaturan usia pensiun. Pemahaman jabatan fungsional dikaitkan dengan kepentingan perlunya penjelasan dan tidak diskriminatif di antara lembaga kekuasaan kehakiman lainnnya. Pengaturan usia pensiun jaksa menjadi tidak adil dengan diberlakukannya aturan Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan. Usia pensiun ini sangat merugikan bagi para Pemohon yang usianya mendekati usia 59 (lima puluh sembilan) dan usia 60 (enam puluh) tahun dipaksa berhenti dengan berlakunya aturan a quo.
Para Pemohon mendalilkan, UU Kejaksaan terbaru sangat berpotensi merugikan hak konstitusional para jaksa dan bersifat diskriminatif. Padahal setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya, berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Para Pemohon memandang perlu Mahkamah Konstitusi memberi tafsir terhadap Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan.
Dalam UU Kekuasaan Kehakiman, usia pensiun di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara secara eksplisit diatur batasannya dan berbeda dengan kejaksaan yang merupakan sama-sama lingkup kekuasaan kehakiman. Sehingga menurut para Pemohon, ketidakjelasan pengaturan usia pensiun bagi para jaksa yang bertugas dalam jabatan fungsional akan membawa akibat terhadap masa depan karir para Pemohon di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia dan para jaksa di seluruh Indonesia.
Memperjelas Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencermati permohonan ini diajukan atas nama individu, bukan atas nama lembaga. Enny menasihati agar para Pemohon memperjelas uraian kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon.
“Yang perlu diperjelas di sini, terkait uraian di mana sesungguhnya letak adanya anggapan kerugian konstitusional para Pemohon. Seluruh uraian itu perlu dielaborasi lagi,” kata Enny.
Enny menilai sistematika permohonan sudah baik, cukup lengkap. Enny menyarankan agar para Pemohon tidak perlu membuat pendahuluan dalam permohonan.
“Sesuai dengan Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 memang tidak lazim ada pendahuluan. Silakan bagian pendahuluan dipindahkan pada posisi yang pas,” lanjut Enny.
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menegaskan kembali sistematika permohonan pengujian undang-undang sesuai dengan Peraturan MK (PMK) terbaru, yaitu PMK No. 2 Tahun 2021.
“Saya tegaskan, PMK No. 2 Tahun 2021 itulah yang harus dipedomani untuk membuat sistematika permohonan. Sistematika permohonan dimulai dengan identitas Pemohon atau kuasa Pemohon, kemudian Keweangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, terakhir adalah petitum. Itulah sistematika yang baku, tidak perlu ada pendahuluan dalam permohonan,” urai Manahan.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Humas: Muhammad Halim.
Editor: Nur R.