JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Ruang Sidang Pleno pada Kamis (17/3/2022). Permohonan perkara Nomor 26/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Djudjur Prasasto. Pemohon mendalilkan Pasal 2 UU Pemilu yang berbunyi, “Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon yang hadir dalam persidangan secara daring tanpa didampingi kuasa hukum menyatakan, kata “bebas” dan “rahasia” bermakna tumpang tindih. Ia mengilustrasikan jika seseorang dijamin kebebasan untuk memilih, seharusnya termasuk bebas untuk mempublikasikan atau merahasiakan pilihannya. Sebaliknya, jika seseorang terpaksa harus merahasiakan pilihannya, orang tersebut berarti dalam kondisi tidak bebas. Selain itu, Pemohon juga menyebutkan jika kata “rahasia” pada asas pemilu tidak lagi relevan pada era digital saat ini.
“Apabila menghilangkan prinsip ‘rahasia’ dalam pemilu, membuka peluang sistem coblos dengan menerapkan e-voting sehingga lebih ekonomis, cepat, dan akuntabel. Sebab, pemilih akan memiliki rasa keterlibatan dalam memilih karena dapat melakukan penelusuran identitas pemilih, baik dari tingkat TPS maupun hingga tingkatan nasional,” jelas Djudjur pada sidang panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dengan Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku hakim anggota.
Namun setelah menyampaikan pokok permohonan, Pemohon secara bersamaan juga menyatakan mencabut permohonan uji materi UU Pemilu ini. Oleh karena itu, Hakim Konstitusi Daniel mengatakan Hakim Sidang Panel tidak dapat memberikan nasihat dalam pengajuan perkara yang secara bersamaan telah dicabut oleh Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Humas: Tiara Agustina.
Editor: Nur R.