JAKARTA, HUMAS MKRI – Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura (UU 20/1947) pada Selasa (15/3/2022). Zico dalam permohonan perkara Nomor 22/PUU-XX/2022 melakukan pengujian Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (3) UU 20/1947.
Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 menyatakan, “Permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permintaan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri, yang menjatuhkan putusan, dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.”
Kemudian Pasal 11 ayat (3) UU 20/1947 menyatakan, “Kedua belah fihak boleh memasukkan surat-surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Negeri atau kepada Panitera Pengadilan Tinggi yang akan memutuskan, asal saja turunan dari surat-surat itu diberikan kepada fihak lawan dengan perantaraan pegawai Pengadilan Negeri yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri itu.”
Sidang dengan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dilaksanakan oleh panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi dua anggota panel yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Salah seorang kuasa Pemohon, Asima Romian Angelina dalam persidangan menyampaikan sejumlah alasan permohonan.
“Izinkan saya menyampaikan kembali mengenai alasan permohonan yang terbagi menjadi empat poin. Yang pertama, yaitu tidak ada kepastian tenggang waktu penyerahan memori banding dan kontra mengenai memori banding pada upaya hukum tingkat banding dalam perkara perdata berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (3) Undang‑Undang Nomor 20 Tahun 1947 telah mengesampingkan dan bertentangan dengan konsepsi negara hukum konstitusional berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Asima secara daring kepada panel hakim konstitusi.
Ditambahkan Asima, tidak diaturnya tenggang waktu penyerahan dan pengajuan berkas memori banding dan kontra memori banding kepada pengadilan tingkat banding menimbulkan ketidakpastian hukum yang menciderai nilai-nilai hukum dalam konteks negara hukum Pancasila yaitu untuk mewujudkan keadilan, kepastian, kemanfaatan, ketertiban, ketenteraman, keamanan, dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Alasan permohonan berikutnya, adanya ketidakjelasan pengaturan pada mekanisme banding sehingga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengaturan Pasal 7 ayat (1) UU No. 20/1947 tidak memberikan mekanisme yang runtut dalam menjelaskan tata cara pengujian banding atau pengujian ulangan dalam suatu pengadilan.
Kemudian alasan yang ketiga, lanjut Asima, permintaan pemeriksaan ulangan atau banding dapat dilakukan oleh Pemohon secara langsung atau wakilnya. Kemudian alasan yang keempat, jangka waktu pernyataan untuk mengajukan pemeriksaan ulangan adalah 14 hari terhitung dari mulai hari berikutnya setelah putusan dibacakan.
Dua Objek Berbeda
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mencermati perbedaan UU yang diujikan dalam perihal dan petitum. Dalam perihal, Pemohon mengujikan Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947. Namun dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 1947 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Saya simak betul tadi ketika membaca petitum. Itu yang dimohonkan pengujian itu Pasal 7 ayat (1) Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 1947, sedangkan di perihal itu Undang‑Undang Nomor 20 Tahun 1947. Itu beda. Undang‑Undang yang Nomor 1 Tahun 1947 itu judulnya Undang‑Undang Republik Indonesia Memperpanjang Waktu Berlakunya Peraturan Dewan Pertahanan Negara. Nah, jadi dua objek yang berbeda. Ini sudah salah objek ini, ya. Jadi, yang mana, Undang‑Undang Nomor 20 Tahun 1947 atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947?” tanya Wahiduddin.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan kepada Pemohon soal Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Saldi juga menanyakan pencantuman Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
“Apakah Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu mengenai hak konstitusional warga negara atau tidak? Ini kan Pasal 1 ayat (3) itu soal negara hukum. Bagaimana Anda mengaitkan ini dengan hak konstitusional? Di mana ditemukan di sini hak konstitusional itu? Enggak ada hak konstitusional di situ. Begitu juga dengan Pasal 24, kalau itu kan tentang kekuasaan kehakiman. Jadi, kalau mau menggunakan kerugian hak konstitusional itu, rujukan utamanya itu adalah ke pasal‑pasal yang mencantumkan soal hak warga negara. Nanti coba Anda perbaiki itu,” kata Saldi menasihati.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menegaskan Pemohon dalam permohonan ini memang sudah mengakui bahwa memori banding itu bukan menjadi syarat untuk pengajuan permintaan banding atau permohonan banding.
“Itu sudah diakui sendiri oleh Pemohon, tapi Pemohon memohon agar 14 hari waktu untuk penyerahan memori banding harus sudah diserahkan sejak permohonan banding itu dicatat dalam daftar. Kemudian waktu 14 hari juga dipersamakan diperlakukan untuk terbanding sejak terbanding menerima salinan memori banding. Hati‑hati, ini hanya saya mengingatkan, nanti diskusikan dengan Prinsipal Saudara Kalau diberi limitatif waktu seperti itu menjadi wajib jadinya. Padahal, kontra memori banding menurut Prinsipal Saudara dan memang menurut aturannya itu tidak wajib,” kata Suhartoyo.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.