JAKARTA, HUMAS MKRI - Lagi-lagi ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini permohonan diajukan oleh lima anggota DPD RI yaitu Ajbar, Muhammad J. Wartabone, Eni Sumarni, M. Syukur, dan Abdul Rachman Thaha. Lima senator ini mengujikan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang panel pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 21/PUU-XX/2022 ini digelar pada Selasa (15/3/2022) di Ruang Sidang Pleno MK, dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Pasal 222 UU Pemilu menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Ahmad Yani selaku kuasa hukum para Pemohon dalam persidangan mengatakan Pasal 222 UU Pemilu secara langsung dan tidak langsung merugikan hak konstitusional para Pemohon. Sebab pemberlakuan pasal tersebut dinilai menciptakan sistem pencalonan presiden dan wakil presiden yang tidak adil dan demokratis, mempersempit peluang calon presiden dan wakil presiden alternatif sehingga hal demikian nyata berpotensi bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pandangan para Pemohon, pemberlakuan pasal tersebut tak hanya merugikan partai politik tetapi juga merugikan hak konstitusional warga negara dalam memperoleh calon presiden dan wakil presiden yang beragam dari putra/putri terbaik bangsa, membatasi lahirnya calon-calon pemimpin, dan membatasi hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Pasal 222 UU Pemilu, lanjut Ahmad Yani, tidak dikenal pengaturannya dalam UUD 1945. Konstitusi hanya mengatur syarat menjadi presiden dan wakil presiden sebagaimana ditentukan oleh Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Para Pemohon berpendapat UUD 1945 memberikan kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk mengatur syarat menjadi presiden dan wakil presiden dan tidak mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden. Hal ini senada dengan Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2016 yang menyatakan pengertian frasa “diatur dengan undang-undang” pada Pasal 6 ayat (2) berarti adanya keharusan untuk diatur dalam suatu undang-undang khusus. Arti kata “diatur dengan undang-undang” tersebut memberikan delegasi kepada pembuat undang-undang mengatur syarat menjadi presiden dan wakil presiden dalam undang-undang tersendiri yang terpisah dari undang-undang lainnya.
“Di samping itu, ketentuan ambang batas calon presiden dan wakil presiden bukanlah open legal policy, melainkan close legal policy. Di mana ambang batas yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak menjabarkan maksud dari Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, akan tetapi merumuskan norma baru yang justru bertentangan dengan pendelegasian Pasal 6 ayat (2) UUD 1945,” sampai Ahmad Yani yang hadir secara daring bersama dengan Anggota DPD RI Eni Sumarni.
Ne Bis In Idem
Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menasihati para Pemohon agar menyempurnakan permohonan, mulai dari kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD 1945 hingga pembeda alasan konstitusional dari para Pemohon dengan permohonan sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah. Hal ini untuk menghindari Ne Bis In Idem.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mencermati legal standing para Pemohon mengingat hal ini menjadi pintu masuk bagi Mahkamah untuk mengkaji perkara lebih lanjut. Daniel juga mencermati alasan permohonan. Daniel menasihati agar permohonan dibuat lebih sistematis sehingga mudah dibaca dan dipahami.
Sementara Wakil Ketua MK Aswanto menasihati para Pemohon memperhatikan putusan MK terdahulu dalam poin dissenting opinion agar dapat mengelaborasi kaitan pengajuan presiden dan wakil presiden tidak hanya partai politik tapi juga perseorangan.
“Diharapkan dapat dibangun argumen baru sehingga terlihat perseorangan punya legal standing karena MK pada dasarnya dapat saja mengubah pandangannya,” jelas Aswanto.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.