JAKARTA, HUMAS MKRI - Awalnya hak cipta merupakan hak privat yang diatur oleh negara dengan memberikan perlindungan dan stimulus bagi para pemilik hak cipta. Hak cipta tersebut mencakup hak moral yang melindungi nilai pribadi, reputasi, dan ciptaan penciptanya, serta hak ekonomi berupa hak eksklusif atas ciptaannya.
Demikian keterangan yang dibacakan Anggota DPR RI Supriansa dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (14/3/2022). Sidang perkara Nomor 63/PUU-XIX/2021 yang dimohonkan oleh PT Musica Studios ini mengujikan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Lebih lanjut Supriansa menyebutkan manfaat ekonomi dapat diupayakan dari karya seorang pencipta dapat berupa penggandaan, penerjemahan, transformasi, pendistribusian, pertunjukan, pengumuman, komunikasi, dan penyewaan ciptaan. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya pencipta mendapatkan banyak keuntungan ekonomi. Namun pada praktiknya, para pencipta belum maksimal mendapatkan hak-hak tersebut sehingga negara perlu mengatur hak eksklusif tersebut demi keadilan bagi banyak pihak.
“Mengenai makna jual putus pada UU a quo tidak lain untuk mewujudkan keseimbangan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam dunia kreatif nasional. Penggunaan waktu 25 tahun ini berpedoman dari ilustrasi harapan hidup masyarakat Indonesia sesuai data BPS. Semisal seorang menciptakan sebuah lagu saat umur 25 tahun, selanjutnya 25 tahun kemudian ketika ia berusia 50 tahun maka ia akan dapat kembali menikmati lagi hak cipta dari karyanya.
Pembanguan Kreativitas Nasional
Supriansa kemudian mengatakan adanya pengubahan norma ini sebagai upaya negara dalam pembangunan kreativitas nasional. Teringkarinya hak ekonomi dan moral ini, sambung Supriansa, dapat menghilangkan motiviasi yang berakibat pada runtuhnya semangat kreativitas anak bangsa. Melalui UU a quo diharapkan dapat dilakukan perlindungan lebih baik lagi atas pemilik hak cipta, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus yang telah pula memperhatikan kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait.
Supriansa juga menjelaskan penyusunan UU a quo telah melalui kajian teoretis dan praktik empiris yang termasuk bahasan mengenai hak cipta atas perkembangan teknologi informasi yang dinilai perlu pengembangan perlindungan terhadap hak pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait.
Baca juga:
PT Musica Studios Persoalkan Ketentuan Batas Waktu Hak Milik dalam UU Hak Cipta
Hak Intelektual
Pada sidang yang sama, Min Usihen Ginting selaku Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM Bidang Sosial mewakili Presiden menyampaikan keterangan bahwa hak moral diberikan kepada seorang pencipta. Penciptalah yang memiliki kontrol melalui penggunaan karyanya karena hak moral juga merupakan pengakuan dari hak orang lain atas karya intelektualnya dan tidak dapat dinilai dari materi atau uang.
Baca juga:
PT Musica Studios Kurangi Pasal Pengujian UU Hak Cipta
Untuk diketahui, permohonan Nomor 63/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian UU Hak Cipta dimohonkan oleh PT Musica Studios. Pemohon mengujikan Pasal 18, Pasal 30, Pasal 122 UU Hak Cipta. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 18 UU Hak Cipta menyatakan, “Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.” Kemudian Pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan, “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.”
Pemohon pada intinya mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta menghalangi hak milik Pemohon atas suatu karya yang telah dilakukan perjanjian beli putus. Sebab pasal tersebut memberikan ketentuan batas waktu atas sebuah karya cipta, yang kemudian suatu karya tersebut harus dikembalikan pada pemilik cipta setelah 25 tahun. Pemohon menilai ketentuan tersebut merugikan karena hanya berstatus sebagai penyewa dan sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut pada pencipta karya.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan kehilangan hak ekonomi atas berlakunya ketentuan Pasal 122 UU Hak Cipta. Dengan dikembalikannya hak cipta kepada pencipta, Pemohon tidak dapat mengambil royalti atas eksploitasi yang dilakukan pihak lain atas atas fonogram dari sebuah karya tersebut. Oleh karenanya, Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Humas: Tiara Agustina.
Editor: Nur R.