Jakarta-RoL-- Jumlah komisi perlu dirampingkan agar tidak memboroskan keuangan negara dan tumpang tindih dalam kebijakan dan kewenangan, demikian hal yang mengemuka dalam diskusi terbatas "Bedah Calon Presiden" di Jakarta, Kamis.
"Seharusnya ramping tetapi kaya fungsi sehingga efisien dan mempunyai kredibilitas," kata mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
Sejumlah komisi atau lembaga independen yang ada saat ini yakni Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Selain itu, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Perlindungan Anak (Komnas Anak), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Dewan Pers, Dewan Pendidikan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Hukum Nasional, Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan.
Menurut Sutiyoso, beberapa komisi tersebut memang sangat dirasa bermanfaat seperti KPK dan KY, namun sebagian memiliki cakupan bidang dan wewenang yang tumpang tindih. "Keberadaan komisi yang tumpang tindih dengan institusi negara yang lain mungkin perlu dipertimbangkan untuk dihapus," katanya.
Sedangkan komisi yang memang masih dianggap perlu bisa dipertahankan asal batasan dan ruang lingkupnya jelas. "Tidak saling mengambil alih wewenang," katanya.
Gagasan perampingan jumlah komisi juga menjadi perhatian pengamat hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Denny Indrayana.
Denny mengatakan, tidak semua komisi harus dihapus misalnya KPK perlu tetap dipertahankan karena korupsi sudah menjangkit ke mana-mana termasuk di lembaga penegak hukum.
"Dan itu hanya KPK yang bisa melakukannya," kata Denny yang juga Direktur "Indonesia Court Monitoring." Komisi lain yang layak dipertahankan adalah KY sebagai pengawas peradilan karena dapat memperkuat negara hukum.
Perihal penegakan hukum, Sutiyoso menyoroti sikap aparat penegak hukum yang kurang konsisten karena masih melakukan "tebang pilih" dalam mengatasi masalah.
"Masih tebang pilih, misalnya kalau ada yang melakukan pelanggaran hukum secara ramai-ramai, aparat penegak hukum kurang bertindak tegas," ujarnya.
Ia mencontohkan kasus penjarahan, kerusuhan dalam pemilihan kepala daerah, atau penganiayaan terhadap pelaku kejahatan oleh warga atau massa. "Aparat terkesan membiarkan," katanya.
Sutiyoso menceritakan ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta pernah memiliki pengalaman pahit ketika bersama pemodal swasta merencanakan pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bojong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Ketika itu warga yang didukung LSM Lingkungan ramai-ramai menolak dengan cara menghadang truk-truk pengangkut sampah yang melakukan ujicoba, katanya.
"Warga juga mengamuk, menumbangkan pohon, membakar dan menghancurkan instalasi proyek," katanya.
Padahal, katanya, TPA tersebut menggunakan standar negara-negara maju, pihak pemodal menjamin tidak akan ada limbah tercecer dan tidak menimbulkan bau, dan hasil pengolahan sampahnya bisa dijadikan pupuk organik. "Karena proyek itu dihancurkan, pemodalnya kabur semua," katanya menyesalkan.
Ia mengatakan penegakan hukum harus dilaksanakan terhadap semua warganegara tanpa pandang bulu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar untuk mendidik dan menjamin kepastian hukum. (antara/abi)
Sumber: http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=330736&kat_id=23
Foto: beritanasional.blgospot.com