JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (8/3/2022) siang. Permohonan Perkara Nomor 19/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Priyanto yang berprofesi wiraswasta.
Adapun materi UU HPP yang diujikan Priyanto yaitu Pasal 4 angka 1 berikut Penjelasannya, Pasal 4 angka 2 berikut Penjelasannya, Pasal 4 angka 6 berikut Penjelasannya, Bab V berikut Penjelasannya, Pasal 13 ayat (4), ayat (10), ayat (11), ayat (15) berikut Penjelasannya dan Pasal 14 angka 1, 2, 3 berikut Penjelasannya. Menurut Pemohon, pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) dan (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan (2), Pasal 281 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) serta ayat (2) UUD 1945.
Pemohon diwakili tim kuasa hukum dari Kantor Hukum PRO HUMANIA Advokat, Mediator & Kurator. Salah seorang kuasa Pemohon, Dian Prinoegroho memaparkan pokok-pokok permohonan. Terkait klaster Pajak Penghasilan (PPh), Dian mengatakan materi muatan Pasal 7 ayat (3) dalam Pasal 3 angka 1 UU HPP bertentangan dengan Pasal 22 huruf d UUD 1945. Kemudian materi muatan Pasal 17 ayat (2) dalam Pasal 3 angka 3 UU HPP bertentangan dengan Pasal 22 huruf g UUD 1945.
Selanjutnya untuk klaster Pajak Pertambahan Nilai (PPN), ungkap Dian, Pasal 4A UU PPN berikut Penjelasannya telah diubah dalam Pasal 4 angka 1 UU HPP dengan menghapuskan barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak yakni jasa pelayanan medis, jasa pelayanan sosial, dan jasa pendidikan dari objek yang dikecualikan dari objek PPN sehingga objek-objek tersebut tidak dapat dikenai PPN.
“Alangkah tidak adil dan tidak masuk akal, barang yang dibutuhkan sebagai kebutuhan pokok dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dimasukkan ke dalam objek yang dapat dikenai PPN,” ujar Dian kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Dikatakan Dian, sekalipun dalam ketentuan Pasal 16B ayat (1) huruf a, huruf j angka 6 UU PPN dalam Pasal 4 angka 6 UU HPP membebaskan tarif PPN 11 persen dalam jasa layanan pendidikan, bagaimanapun tidak layak dan tidak tepat dijadikan objek PPN. Sebab jasa pendidikan merupakan jasa yang mulia dan bukan merupakan kegiatan transaksional ekonomi. Hak dan kebebasan mendapatkan pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
Berikutnya, Pemohon mendalilkan terkait klaster pengampunan pajak. Dalam Bab V Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak UU HPP, memuat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 5 sampai Pasal 12 materi muatan yang diatur dalam Bab V UU HPP tersebut pada hakekatnya merupakan Program Pengampunan Pajak yang dijalankan oleh negara melalui UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Ringkasan Permohonan
Menanggapi dalil-dalil permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyatakan permohonan Pemohon diterima di Kepaniteraan MK pada 8 Februari 2022. Permohonan lengkap tanpa disertai ringkasan permohonan. Namun yang dibacakan kuasa hukum Pemohon dalam persidangan kali ini adalah ringkasan permohonan.
“Ini membuat kami agak bingung, kenapa yang dibaca ringkasan permohonan. Ke depan untuk sidang perbaikan permohonan, sebaiknya Pemohon menyertakan ringkasan permohonan selain permohonan lengkap. Ringkasan permohonan harus juga diserahkan ke Kepaniteraan MK,” kata Daniel yang juga menyoroti petitum terlalu panjang sebanyak 13 halaman dan petitum yang menyebutkan ‘permohonan para Pemohon’. Padahal Pemohonnya hanya satu orang.
Hakim Konstitusi Suhartoyo menyoroti permohonan Pemohon cukup sulit dipahami karena norma yang diuji cukup banyak. Suhartoyo menyarankan agar permohonan lebih dibuat sederhana.
“Permohonan ini harus disederhanakan. Misalnya, klasternya bisa hanya pada bagian frasa atau hanya pada bagian kata. Kami tidak melihat pada petitum, pasal-pasal yang diuji Pemohon apakah merupakan satu norma utuh atau bagian norma,” kata Suhartoyo.
Sedangkan Ketua Panel, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menilai tim kuasa hukum Pemohon kurang menguasai materi permohonan. Manahan menasehati Pemohon agar berhati-hati dan tidak salah melihat pasal-pasal yang diuji, apakah pasal-pasal dari undang-undang yang baru atau asal-pasal dari undang-undang yang lama.
“Yang mana pasal dari undang-undang yang baru dan mana pasal-pasal dari undang-undang yang lama,” kata Manahan.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.