JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (8/3/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara Nomor 65/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Rega Felix yang mengujikan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah.
Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden (Pemerintah). Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Pemerintah yang diwakili Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Tio Serepina Siahaan menyampaikan bahwa pemerintah belum siap untuk memberikan keterangan. Pemerintah meminta perpanjangan waktu sebagaimana surat yang telah disampaikan ke Kepaniteraan MK.
Fatwa MUI
Sementara DPR diwakili Anggota DPR Komisi III Arsul Sani yang dalam keterangannya menyatakan UU Perbankan Syariah memberikan kewenangan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang fungsinya dijalankan oleh organ khususnya, yakni Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI untuk menerbitkan fatwa terkait suatu hukum atau suatu akad yang menjadi dasar adanya produk dan jasa perbankan syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan dalam peraturan Bank Indonesia (BI) yang saat ini telah dialihkan dan dilaksanakan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Hal ini merupakan pengakuan bahwa MUI merupakan lembaga yang berwenang untuk menerbitkan fatwa yang dijadikan dasar dalam kegiatan usaha perbankan Syariah,” kata Arsul Sani secara daring.
Lebih lanjut Arsul menjelaskan frasa “prinsip Syariah” yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 12 UU Perbankan Syariah sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah yang kemudian diperkuat dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UU Perbankan Syariah.
“Prinsip syariah yang dimaksudkan difatwakan oleh MUI secara jelas memberikan batasan bahwa fatwa yang digunakan dan dijadikan rujukan dalam kegiatan perbankan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia atau MUI, bukan dari lembaga atau organisasi kemasyarakatan atau keagamaan lainnya. Selain itu, asas kepastian hukum juga melatarbelakangi bahwa pembentuk undang-undang memberikan kewenangan mengeluarkan fatwa kepada MUI sebagai majelis yang beranggotakan para ulama,” terang Arsul.
Menurut DPR, fatwa tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. MUI bukan pula merupakan lembaga yang memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Arsul menegaskan, agar fatwa ini dapat diaplikasikan dan kegiatan perbankan syariah, pembentuk undang-undang memberikan kewenangan kepada lembaga yang memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan syariah, yakni BI dan saat ini adalah OJK sesuai dengan perkembangan legislasi di bidang perbankan. Untuk mengadopsi fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dalam hal ini dikeluarkan oleh DSN MUI dapat menjadi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengikat dan berlaku secara umum dan luas.
“Jika Pemohon menghendaki fatwa harus dikeluarkan oleh BI atau OJK, maka hal ini justru akan menimbulkan permasalahan baru dalam masyarakat mengingat bahwa BI atau OJK tidak memiliki kompetensi menilai dan memahami hukum Islam sebagaimana yang dimiliki oleh para ulama. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengaturan kewenangan kelembagaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal a quo termasuk kewenangannya dalam hal perbankan syariah telah memberikan kepastian hukum terhadap pelaku usaha keuangan syariah dan warga masyarakat,” tegasnya.
Pendelegasian Kewenangan
Selanjutnya, DPR menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah telah memberikan delegasi blangko kepada MUI nonlembaga negara maupun BI, OJK sebagai lembaga negara sehingga terjadi disharmoni pengaturan perbankan syariah yang menyebabkan ketidakpastian hukum. DPR berpendapat, dalam kaitan dengan pendelegasian kewenangan berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam ketentuan Lampiran Nomor 198 dan Nomor 200 yang mengatur bahwa jika pembentuk undang-undang akan mendelegasikan suatu ketentuan atau aturan, maka harus ada persyaratan yang jelas mengenai materi muatan yang akan didelegasikan dan jenis pendelegasiannya, serta jenis peraturannya. Jika tidak memenuhi peraturan tersebut itulah yang disebut delegasi blangko. Larangan penggunaan delegasi blangko terdapat di dalam ketentuan Lampiran Nomor 210 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang melarang adanya delegasi blangko. DPR beranggapan, pemohon tidak menguraikan secara jelas delegasi blangko seperti apa yang dimaksud.
Selain itu, DPR juga menegaskan, berdasarkan Pasal 26 ayat (1), ayat (2) UU Perbankan Syariah, pembentuk undang-undang telah jelas memberikan kewenangan kepada MUI untuk memberikan fatwa mengenai prinsip syariah dalam kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21.
Sedangkan di dalam Ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU Perbankan Syariah memberikan pengaturan bahwa fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI harus dikuatkan melalui peraturan lebih lanjut, dalam hal ini peraturan perundang-undangan, yakni peraturan BI dan peraturan OJK.
“Undang-undang a quo telah jelas mengatur mengenai ruang lingkup materi muatan dan ketentuan yang diberikan delegasi oleh pembentuk undang-undang kepada MUI maupun kepada BI dan OJK, sehingga dalam hal ini Pemohon perlu memperjelas delegasi blangko yang bagaimana yang dimaksud oleh Pemohon dalam pasal a quo,” tandas Arsul Sani.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Penetapan Prinsip Perbankan Syariah
Pemohon Perbaiki Uji Materi UU Perbankan Syariah
Untuk diketahui, permohonan Nomor 65/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian materiil UU Perbankan Syariah diajukan oleh Rega Felix. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (6/1/2021), Rega Felix mengatakan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak mendapatkan hak akibat pengaturan perbankan syariah yang dinilainya tidak jelas. Hal ini diakibatkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah karena memberikan delegasi blangko kepada MUI maupun BI/OJK. Akibatnya, terjadi disharmoni pengaturan perbankan syariah dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut Rega, UU Perbankan Syariah secara umum hanya mengatur soal kelembagaan perbankan syariah, tetapi prinsip-prinsip yang ada dalam transaksi perbankan syariah (secara khusus prinsip hak milik) tidak diatur. Sehingga, detail prinsip syariah yang semestinya diatur dalam tingkat UU tidak diatur dalam UU Perbankan Syariah, melainkan melalui Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UU Perbankan Syariah didelegasikan kepada MUI untuk ditetapkan dalam fatwa yang kemudian diterangkan dalam peraturan BI atau OJK setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Akibat penafsiran yang ambigu, sambung Rega, menjadikan seolah OJK mempunyai celah untuk tidak mengatur dalam POJK. Akibat delegasi blangko dan dualisme kewenangan ini menyebabkan persepsi di masyarakat adanya dikotomi antara negara dan hukum agama hingga timbul persepsi “lebih baik ikuti hukum agama daripada hukum negara”. Di sisi lain, praktik bank syariah adalah praktik riba terselubung yang sama saja dengan bank konvensional. Hal tersebut karena dalam hukum negara banyak pertentangan.
Menurut Rega, hal tersebut harus diperbaiki. Sebab jika tidak, pada akhirnya perbankan syariah yang telah tumbuh akan roboh akibat tidak mempunyai pondasi hukum yang kuat. Ini tentu merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai nasabah perbankan syariah.
Selain itu, Rega juga menjelaskan, Pasal 26 UU Perbankan Syariah “memaksa” MUI maupun BI/OJK untuk mengatur materi muatan yang seharusnya diatur di dalam undang-undang.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perubahan terhadap UU Perbankan Syariah khususnya mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah atau melakukan pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur Rosihin Ana.
Humas: Tiara Agustina.