JAKARTA, HUMAS MKRI – Meski beberapa permohonan terkait pengujian aturan mengenai ambang batas presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak dapat diterima, namun tampaknya tidak menyurutkan niat masyarakat umum mengajukan pengujian pasal a quo ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, Jaya Suprana tercatat menjadi Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XX/2022 yang menguji secara materiil Pasal 222 UU Pemilu.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Selasa (8/3/2022) di Ruang Sidang Pleno MK, Jaya Suprana hadir tanpa kuasa hukum mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu membatasi hak warga negara untuk maju dalam pencalonan wakil presiden. Adapun norma yang diuji oleh Pemohon yakni Pasal 222 UU Pemilu menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
“Dengan adanya peraturan presidential threshold ini hasrat tidak ingin melanjutkan karena tidak memiliki akses ke partai politik dan tidak memiliki dana,”jelasnya dihadapan pemimpin sidang Arieh Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan pemohon untuk menambahkan peraturan dan UU MK yang terbaru serta meminta Pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami. Selain itu, ia meminta agar Pemohon membaca putusan-putusan MK terdahulu yang menguji Pasal 222 UU Pemilu.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk menjelaskan alasan yang kuat dalam mengajukan permohonan pengujian UU Pemilu untuk meyakinkan MK. “Karena Pemohon itu, apa yang dimohonkan, itulah yang harus dia disampaikan, termasuk pokok-pokoknya di situ. Jadi sampaikan, saya memohonkan, disampaikan, sesuai dengan formatnya di situ, satu per satu. Jadi, bukan MK yang menebak‑nebak nanti apa yang dimohonkan di situ, tetapi berdasarkan apa yang memang menjadi kehendak dari Prinsipal, kebetulan di sini langsung yang maju adalah Prinsipalnya langsung,” sarannya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum Pemohon. “Kalau Pak Jaya bisa meyakinkan bahwa yang punya legal standing adalah tidak hanya partai politik yang sudah pernah ikut pemilu, tapi perorangan sebagaimana kayak Pak Jaya ini bisa punya legal standing. Nah, itu harus dibangun konstruksi hukumnya, narasinya, supaya Mahkamah bisa mengubah pendiriannya memberikan legal standing kepada perseorangan Warga Negara Indonesia,” ujarnya.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan bahwa pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Permohonan paling lambat diterima Kepaniteran MK paling lambat pada Senin, 21 Maret 2022. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M