JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 tersebut berlangsung secara virtual pada Senin (7/3/2022) di Gedung MK.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, pemerintah menghadirkan tiga ahli, yakni Mufti Djusnir, Rahmana Emran Kartasasmita, dan Ahmad Redi. Mufti Djusnir memaparkan keahlian dan pengalamannya sebagai Kepala Pusat Laboratorium Narkotika BNN yang bertugas melakukan analisis, pengujian, serta, penelitian terhadap barang bukti narkotika, serta zat-zat senyawa yang diduga narkotika dalam rangka projustisia. Mufti menyatakan, suatu penelitian terhadap suatu jenis Narkotika Golongan I, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan bila ternyata jenis narkotika tersebut mengandung zat aktif yang dapat diduga mempunyai khasiat sebagai obat, masih harus dilakukan pengujian ataupun penelitian pendahuluan secara in vitro dan in vivo untuk mengetahui efek samping ataupun dampak buruk terhadap tubuh manusia.
“Bila tahap pengujian ini selesai, masih harus dilanjutkan dengan pengujian dan penelitian selanjutnya, yaitu dilakukan uji praklinik dan uji klinis, yaitu uji terhadap hewan percobaan yang dilanjutkan uji terhadap manusia, dimana untuk memastikan efektivitas keamanan dan gambaran efek samping dampak buruk yang ditimbulkan akibat pemberian suatu jenis zat senyawa,” terang Mufti yang kini menjabat Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Bidang Farmasi.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Penggunaan Narkotika Golongan I Untuk Kepentingan Medis
LSM dan Ibu dari Pasien Celebral Palsy Pertegas Kedudukan Hukum dalam Uji UU Narkotika
Menurut Mufti, Apabila hasil pengujian pada tahapan ini dinyatakan efektif, aman, dan berkhasiat, maka tahap akhir dari pengujian penelitian ini adalah tahap penggolongan narkotika. Apakah termasuk ke dalam Narkotika Golongan II, yaitu jenis narkotika yang memiliki daya adiktif yang kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan, ataukah masuk ke dalam Narkotika Golongan III, yaitu jenis narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, namun bermanfaat untuk pengobatan.
Lebih lanjut Mufti mengatakan, Konvensi Narkotika 1961 mengakui kedaulatan negara dalam penerapan secara domestik, sesuai dengan Pasal 39 Konvensi Narkotika 1961, dimana negara anggota memiliki hak untuk menerapkan pengaturan di dalam negeri sendiri yang lebih ketat, sesuai dengan pertimbangan masing-masing, apabila sebuah substansi dipandang berbahaya.
“Dalam hal ini, Indonesia masih memiliki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana ganja dan turunannya masuk di dalam Golongan I, yaitu sangat berbahaya,” urai Mufti.
Mufti menegaskan, hasil kajian yang dilakukan oleh pakar-pakar kesehatan Indonesia pun menunjukkan hasil yang berbeda dengan rekomendasi WHO-ECDD. Artinya perlu dilakukan kajian lagi lebih mendalam tentang karakter kanabis tertentu.
Baca juga:
DPR Sebut Proses Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis Berbeda di Setiap Negara
Asmin Fransiska: Indonesia Salah Tafsir atas Konvensi Tunggal Narkotika 1961
Keamanan, Khasiat, dan Kualitas
Rahmana Emran Kartasasmita dalam paparannya mengatakan, negara perlu melakukan pengaturan zat atau substansi yang memiliki potensi atau sifat racun. Termasuk mengatur obat, terlebih obat yang termasuk kategori narkotika yang memiliki efek adiktif dan juga potensi penyalahgunaan. Indonesia sudah mengatur narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang pada intinya narkotika digolongkan di Narkotika Golongan I, Golongan II, dan Golongan III.
“Narkotika Golongan I memang dinyatakan dilarang digunakan untuk kepentingan kesehatan. Namun demikian, tidak dilarang untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Rahmana yang kini menjabat Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kimia Farmasi di Kelompok Keilmuan Farmakokimia Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung.
Baca juga:
Stephen Rolles: Semua Obat Medis Berpotensi Memiliki Risiko
Ahli dari Korea Selatan dan Thailand Bahas Proses Legalisasi Ganja untuk Medis
Rahmana kemudian menerangkan aspek keamanan, khasiat, dan kualitas (safety, efficacy, quality) suatu zat atau substansi yang digunakan sebagai obat. Menurutnya, keamanan, khasiat, dan kualitas, merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu zat atau susbtansi sebelum dapat digunakan sebagai obat untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau dengan kata lain digunakan secara klinis. Pembuktian keamanan, khasiat, dan kualitas harus dilakukan sejak suatu zat atau substansi masih dalam tahap penemuan dan pengembangan obat (drug discovery and development)
“Itu adalah suatu kegiatan riset yang mencakup serangkaian tahapan pengujian praklinis dan juga klinis. Proses penemuan dan pengembangan obat, jelas merupakan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan atau dengan kata lain kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mendapatkan obat yang layak untuk digunakan pada pelayanan kesehatan untuk manusia,” urai Rahmana.
Lebih lanjut Rahmana mengatakan, dalam proses penemuan obat (drug discovery) pada tahap pengujian praklinik, keamanan suatu zat atau substansi dibuktikan melalui pengujian toksisitas, yang pada intinya harus dibuktikan bahwa zat atau substansi yang diuji berdasarkan kaidah sensitif, aman untuk digunakan pada manusia. Selain itu, pada tahapan ini, sambungnya, khasiat suatu zat atau substansi dibuktikan melalui serangkaian pengujian farmakologi eksperimental menggunakan hewan uji dan juga sudah bisa dibuktikan zat yang diuji mampu memberikan efek farmakologi yang diinginkan secara signifikan.
Narkotika untuk Pengembangan Iptek
Pakar Hukum Tata Negara Ahmad Redi dalam keterangannya mengatakan Pasal 4 huruf a UU Narkotika telah mengatur mengenai ketersediaan narkotika untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. UU Narkotika memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berbagai pemangku kepentingan untuk melakukan penelitian dan pengembangan narkotika.
“Hal ini tertuang dalam Ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Narkotika yang mengatur lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapat izin Menteri. Kementerian Kesehatan pun menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02/Menkes/118/2015 tentang Izin Memperoleh, Menanam, Menyimpan, dan Menggunakan Tanaman Ganja dan Koka,” kata Ahmad Redi.
Berdasarkan hal tersebut, jelas Redi, UU Narkotika sejalan dengan spirit konstitusi, khususnya mengenai jaminan hak warga negara untuk mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Secara normatif bahwa tidak ada pelanggaran hak konstitusional warga negara dengan ketentuan adanya penjelasan Pasal 6 dan Pasal 8 Undang-Undang Narkotika terkait hak untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu untuk memanfaatkan hasil penelitian dan pengembangan diperlukan prosedur yang baku dan tetap, sehingga akhirnya sesuatu dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan kesehatan,” tegasnya.
Baca juga:
Saksi Pemohon Berhalangan Hadir, Sidang Uji UU Narkotika Ditunda
Saksi Sebut Ganja Dapat Redakan Nyeri Neuropatik Kronis
Ahli Pemerintah: Tak Perlu Ganja untuk Obati Epilepsi
Untuk diketahui, permohonan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 dalam perkara pengujian UU Narkotika ini diajukan oleh Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional para Pemohon.
Dwi Pertiwi adalah seorang ibu yang pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam. Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Dwi Pertiwi menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Hal serupa juga dialami dua orang ibu yang menjadi Pemohon perkara ini yaitu Santi Warastuti dan Nafiah Murhayanti. Adanya larangan tersebut menghalangi tiga orang ibu tersebut untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak mereka.
Kemudian, Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan. Menurut para Pemohon, penjelasan norma a quo telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Hak demikian sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur Rosihin Ana.