JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan secara virtual oleh DPC Peradi Jakarta Barat bekerja sama dengan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) Angkatan XVIII pada Sabtu (5/3/2022) siang.
“Pada Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, di sanalah kewenangan Mahkamah Konstitusi dicantumkan yang meliputi empat kewenangan dan satu kewajiban. Hal yang sama, dalam UU Mahkamah Konstitusi yang sudah kali diubah, kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusin juga disebut. Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi, juga disebut dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” kata Manahan yang menyajikan materi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
Manahan menjelaskan, Mahkamah Konstitusi pertama di dunia lahir di Austria pada 1920. Sedangkan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi lahir pada 13 Agustus 2003 yang sebelumnya dicetuskan para pembentuk undang-undang saat amendemen UUD 1945 pada 1999-2002. Ide awal perlunya pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sudah muncul pada masa kemerdekaan. Moh. Yamin dalam sidang BPUPK mengusulkan agar Balai Agung (MA) diberi wewenang untuk membanding Undang-Undang. Namun Soepomo tidak setuju dengan usul Moh. Yamin karena UUD tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu. Selanjutnya, pada 1970 Ikatan Sarjana Hukum Indonesia juga mengusulkan agar memberikan kewenangan menguji undang-undang kepada Mahkamah Agung. Tapi hal ini belum terlaksana.
Kewenangan MK
Selanjutnya Manahan menerangkan mengenai kewenangan MK yang diberikan oleh UUD 1945. Pertama, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD. Ketiga, memutus pembubaran partai politik. Keempat, memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. “Inilah yang sering disebut sebagai impeachment atau pemakzulan,” ucap Manahan.
Selain itu, ada satu kewenangan tambahan MK yaitu memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Kewenangan tambahan ini bukan berasal dari konstitusi, tetapi dari UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan, perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Model Pengujian UU
Manahan kemudian menjelaskan dua model pengujian undang-undang terhadap UUD. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Manahan juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang- undang. Sedangkan yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara.
Berkutnya, Manahan menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan- kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Manahan, terdiri atas identitas pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Erga Omnes
Manahan dalam paparannya juga menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu oleh Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sambung Manahan, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi. Kemudian tahap akhirnya adalah sidang pengucapan putusan.
Putusan MK, ujar Manahan, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK. Selain itu, Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara bersyarat.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.